Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Political Financing dalam Sistem Pendanaan Partai Politik di Indonesia

Konsep Political Financing dalam Sistem Pendanaan Partai Politik di Indonesia





Berbicara mengenai partai politik tidak akan terlepas dari dana dan kuasa. Dimana kedua aspek tersebut mempunyai ketergantungan satu sama lain. Cita-cita ideal atau yang sering disebut sebagai visi partai politik, atau bahkan disebut ideologi partai politik bisa dikatakan sebagai tujuan akhir dari partai politik. Lalu kekuasaanlah alat untuk mencapai cita-cita tersebut.

Dengan pandangan ini, maka partai politik dapat disebut sebagai lembaga yang berorientasi pada sebuah cita-cita dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai cita-cita tersebut. Dalam rangka mendapatkan suatu kekuasaannya tersebut, tentu partai politik membutuhkan dorongan finansial sebagai modal untuk merebut kekuasaan, sedangkan kuasa tersebut menjadi alat penting untuk mengumpulkan dana.

Demikian seterusnya, sehingga tidak ada pemegang kekuasaan yang tak berhasrat mengumpulkan dana; sebaliknya tidak ada pemilik dana yang bisa mengabaikan kekuasaan. Di sinilah hubungan partai politik dengan uang menjadi tak terpisahkan. SeFbagai organisasi yang mengejar kekuasaan, partai politik membutuhkan uang agar misinya berhasil; selanjutnya ketika sukses memegang kekuasaan, partai politik terus mengakumulasi uang agar terus bisa bertahan.

Dalam sistem politik demokratis, kebutuhan partai politik akan uang menjadi tak terhindarkan, karena basis legetimasi kekuasaan adalah dukungan rakyat yang dicerminkan oleh hasil pemilu. Agar berhasil merebut suara rakyat, partai politik butuh dana kampanye dalam jumlah besar.

Namun, partai politik sesungguhnya tidak hanya butuh dana kampanye, tetapi juga dana untuk menggerakkan organisasi sepanjang waktu antara dua pemilu. Dana jenis ini juga tidak sedikit, karena demi menjaga kepercayaan rakyat, partai politik harus terus eksis melalui beragam kegiatan. Hal seperti ini menjadikan para politisi melakukan apa saja demi menghidupi partainya, maka seperti yang kita ketahui bersama banyaknya kasus korupsi yang membelit politisi di lingkungan legislatif maupun eksekutif, nasional maupun daerah, semakin menyadarkan kita untuk terus menata political financing dalam sistem pendanaan politik di Indonesia.

Dimana kasus-kasus korupsi itu bukan saja menunjukkan rendahnya standar moral politik politisi, tetapi juga terbentuknya sistem politik yang memaksa mereka mengambil uang yang bukan haknya.

Pengertian Partai Politik



Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Carl J Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya. Berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Dengan merangkum pendapat para ahli dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara umum, dapat dikatakan partai politik adalah organisasi yang disusun secara rapi dan stabil dan dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela dan mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita, dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari serta mempertahankan kekuasaan melalui pemilu untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program yang telah mereka susun.


Pengertian Political Financing




Political financing merupakan sebuah konsep yang membahas mengenai Money in Politics yang merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam proses politik demokrasi di Indonesia. Money in politic disini adalah biaya yang semestinya dikeluarkan untuk mengongkosi proses politik bukan biaya yang dikeluarkan untuk membeli suara masyarakat agar pilihannya diarakan pada satu partai politik. Money in politic adalah biaya rasional yang berada di luar praktek-praktek suap menyuap dalam proses berpolitik.

Money in politics lebih cenderung pada pengertian bahwa dalam aktifitas politik partai politik, terdapat uang yang mendukung berjalannya kegiatan-kegiatan partai. Ketika uang ini tidak ada, kegiatan partai politik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Money in Politics berbeda dengan money politics atau money for politics. Istilah money politics lebih banyak digunakan untuk menggambarkan praktek penggunaan uang untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi dimana hal tersebut merupakan praktik ilegal yang tidak dibenarkan oleh undang-undang di negara kita.

Sedangkan, Money in politics disini adalah bentuk yang rasional dalam praktek penyelenggaraan sistem politik. Sebuah proses politik tentu saja membutuhkan aksi-aksi nyata yang harus dapat dilakukan hanya dengan mengeluarkan biaya. Secara obyektif, partai politik dalam sistem politik demokrasi memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan fungsinya.

Sumber Keuangan Partai Politik




Pasal 34 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011 menyatakan bahwa Keuangan Partai Politik bersumber dari iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lalu, poin-poin selanjutnya pada peraturan perundangan tersebut menjelaskan bahwa :

a. Iuran Anggota

Mengenai jumlah iuran anggota parpol ditentukan secara internal oleh parpol, dikarenakan tidak ada jumlah tertentu yang diatur dalam UU mengenai besaran iuran anggota. Dasar hukum yang digunakan untuk menarik sumbangan yang berasal dari iuran anggota adalah keputusan rapat pengurus partai di tingkat pusat.

b. Sumbangan dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Lalu ketentuan Pasal 35 ayat (1) mengemukakan bahwa sumbangan yang sah diterima oleh Partai Politik berasal dari:


  1. Perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART;
  2. Perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran;
  3. Perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per-perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.

c. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan ini hanya diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat.

Dinamika dalam Pendanaan Partai Politik di Indonesia




Seperti yang kita ketahui bersama, suatu partai politik memiliki peran yang bersifat fundamental dan strategis di dalam masyarakat demokrasi. Partai politik disini menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai organisasi yang hidup di tengah masyarakat, partai politik menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat.

Sedangkan sebagai organisasi yang menempatkan kader-kadernya di lembaga legislatif maupun eksekutif, partai politik menyampaikan dan mendesakkan kepentingan masyarakat tersebut untuk dibuat kebijakan pemerintah.

Dalam menjalankan tugas serta fungsinya, tentu partai politik ini membutuhkan dukungan dana guna menopang keberlanjutan kegiatan-kegiatan politiknya. Karena, tidak ada partai politik yang dapat tumbuh berkembang tanpa dukungan keuangan kuat.

Uang tersebut diperlukan untuk kegiatan-kegiatan seperti operasional kesekretariatan, pendidikan politik dan kaderisasi, konsolidasi organisasi, unjuk publik atau public expose, dan perjalanan dinas pengurus. Tetapi melihat realitasnya saat ini, peran tersebut tidak dengan sendirinya dapat berjalan dengan baik. Keterbatasan struktural dan finansial menyebabkan partai politik gagal menjalankan fungsi perantara.

Keterbatasan struktural antara lain ditandai oleh lemahnya jaringan kerja dan organisasi sehingga partai politik tidak mampu menampung dan menangkap aspirasi masyarakat. Selain itu, kepemimpinan partai politik yang oligarkis, sering mengabaikan kepentingan masyarakat, konstituen, atau pun anggota partai politik.

Sedangkan, keterbatasan finansial ditandai oleh ketergantungan keuangan partai politik kepada penyumbang sehingga partai politik cenderung mengutamakan kepentingan penyumbang dan melupakan kepentingan masyarakat.

Masalahnya adalah hampir semua partai politik gagal menggalang iuran anggota sehingga mereka pun menggantungkan sumber keuangan kepada para penyumbang perseorangan atau pun perusahaan. Di sinilah partai politik menghadapi dilema: di satu pihak, untuk membiayai kegiatannya, partai politik membutuhkan uang banyak; di lain pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Dengan kata lain, besarnya sumbangan dapat mengganggu eksistensi partai politik sebagai pemegang mandat rakyat karena partai politik bisa mengutamakan kepentingan penyumbang daripada kepentingan rakyat.

Perubahan karakter partai politik tersebut juga dipengaruhi oleh semakin kukuhnya pemilu sebagai instrumen demokrasi sehingga persaingan antar partai politik semata hanya persaingan memerebutkan suara dalam pemilu. Partai politik pun menjadi mesin pendulang suara yang mengedepankan pragmatisme dan rasionalitas.

Sebagai mesin pemilu, fungsi utama partai politik adalah meraih suara sebanyak-banyaknya. Namun dalam menjalankan fungsi ini, partai politik menghadapi situasi sulit, sebab untuk memenangkan pemilu mereka membutuhkan uang banyak.

Padahal pada saat yang sama iuran anggota semakin berkurang dan bantuan dari APBN/ APBD dirasa tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya. Jumlah bantuan partai politik dari APBN/APBD yang hanya 1,32% berarti selama ini partai politik beroperasi sepenuhnya atas sumbangan perseorangan dan perusahaan yang mencapai 98,7% dari total belanja partai politik.

Maka dari itu untuk menghadapi permasalahan yang ada, partai politik mencari uang sumbangan. Meskipun pada mulanya semua kebutuhan keuangan partai politik dipenuhi oleh iuran anggota. Hubungan ideologis kuat antara partai politik dengan anggota menyebabkan partai politik tidak sulit menggalang dana dari anggota.

Namun, sejalan dengan perubahan struktur sosial masyarakat dan penataan sistem pemerintahan demokrasi yang semakin kompleks, kini nyaris tidak ada partai politik yang hidup sepenuhnya dari iuran anggota.

Memasuki dekade 1970-an hubungan ideologis anggota dengan partai politik mulai luruh karena pertarungan ideologi di masyarakat mulai memudar. Partai politik mulai meninggalkan sekat-sekat ideologi dalam menggalang dukungan sehingga karakter partai berubah menjadi partai lintas kelompok atau catch-all party.

Pada akhirnya, guna memenuhi kebutuhan yang kian hari kian meningkat partai politik menerima sumbangan dari badan hukum, khususnya lembaga bisnis atau perusahaan. Inilah salah satu faktor yang menjadikan para politisi, baik yang berasal dari lingkungan legislatif (DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) maupun eksekutif (menteri, gubernur, dan bupati/walikota) terlibat dalam kasus-kasus korupsi, mengingat kebutuhan akan dana untuk partai politik yang besar agar agar bisa memenangkan pemilu telah mendorong para politisi untuk berlaku koruptif yang pada akhirnya menjadikan mereka terjerat dalam tindakan money politics, dimana tindakan tersebut adalah suatu cara memobilisasi uang untuk mengintervensi proses politik dan kebijakan publik dapat menyebabkan pengaruh yang tidak wajar sehingga melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Partai Politik Saat Ini





Menyoroti kehidupan berpolitik suatu partai politik di Indonesia saat ini akan berfokus kepada suatu sistem pendanaan politik dari sisi regulasi dan tata-kelola di dalam partai politik. Partai politik sebagai institusi garda depan demokrasi hari ini dinilai sebelah mata oleh masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh hilangnya kepercayaan publik dikarenakan partai politik seakan melupakan peran serta fungsi utamanya sebagai organisasi yang nantinya akan menampung aspirasi rakyatnya yang kemudian melaksanakan kebijakan umum mereka.

Partai politik adalah organisasi yang memiliki sumber-sumber pendanaan yang terbatas. Tetapi, kegiatan-kegiatannya lebih banyak dilaksanakan di tempat-tempat yang mewah dan megah dengan jumlah peserta ratusan hingga ribuan orang. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik tentang adanya sumber-sumber pendanaan yang tersembunyi. Ditambah lagi, partai politik melakukan pengeluaran tidak berdasarkan pada fungsi untuk melayani rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Selain itu, konteks permasalahan lain yang ada pada partai politik yaitu lemahnya regulasi tentang pengeluaran partai politik, yang secara praktis akan memicu persaingan tidak seimbang dan tidak adil antar partai.

Kesenjangan antara pengaturan keuangan partai politik di dalam undang-undang, dengan praktek politik sehari-hari yang dijalani partai politik memperlihatkan bahwa regulasi yang membahas mengenai pendanaan partai politik yaitu UU No. 2/2008 dan UU No. 2/2011, tidak berhasil mendorong partai politik untuk mengumpulkan dana yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan operasional partai politik, sehingga membuat para elitnya terlibat pemburuan dana illegal dengan memanfaatkan kedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Regulasi ini pun gagal mencegah penguasaan partai politik dari pemilik uang, sehingga partai politik cenderung mengabaikan kepentingan anggota dan kepentingan publik. Sebagai implikasi dari kedua masalah pokok tersebut, ketentuan pada UU No. 2/2011 cenderung tidak ditaati oleh partai politik sehingga mereka mencari jalan sendiri untuk mengumpulkan dan mengelola dana partai politik.

Realitasnya saat ini, partai politik mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai sehingga tidak bisa dikontrol oleh publik. Koridor hukum yang tidak kuat dan efektif ini membuat tata-kelola keuangan menjadi semerawut dan tertutup. Ketidakwajaran sering kali menjadi kenyataan diterima dan menjadi norma praktek sehari-hari dalam partai politik.

Bahkan tidak ada partai politik yang menyatakan dengan tegas dan jelas berapa kebutuhan finansial yang diperlukan menjadikan roda kepartaian secara efektif per tahun. Hal ini akan menyebabkan partai politik menjadi tidak demokratis. Ketika penggalangan dana secara massif menjadi obsesi partai politik, partai politik tidak lagi sadar akan fungsi dan peran utamanya.

Partai politik yang memiliki sumber daya dan dana yang besar, akan menjadi partai dominan dan yang lain menjadi sub-ordinat. Hal ini bahkan dapat berimplikasi pada terjadinya dominasi satu partai terhadap negara sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.

Ditambah lagi, partai politik belum menerapkan pengelolaan pengeluaran yang transparan dan akuntabel, baik dari segi prakteknya maupun dari sisi tersediaan dokumen. Akibat dari praktek keuangan yang tidak terbuka, kian meyakinkan masyarakat tentang adanya sumber-sumber pendapatan yang tersembunyi di luar dari sumber-sumber pendanaan yang selama ini diatur dalam undang-undang.

Pengelolaan Political Financing yang seharusnya Diterapkan pada Sistem Pendanaan Partai Politik di Indonesia




Sistem di Indonesia sama sekali tidak mengenal pendanaan penuh partai politik dari anggota, ataupun dari negara. Di luar itu, terdapat pendanaan dari pihak ketiga, baik perseorangan ataupun badan usaha, itupun jumlahnya dibatasi. Pemerintah hanya memberikan anggaran terbatas kepada partai-partai politik.

Keadaan ini memicu politisi mengambil jalan pintas, yakni mencari pembiayaan politik lewat jalan yang keliru. Untuk mengatasi keadaan tersebut, perlunya terobosan-terobosan penting dalam hal pendanaan politik, baik terkait dengan partai politik, maupun anggotanya yang terlibat dalam proses politik.

Dalam rangka memperbaiki sistem pengelolaan political financing di Indonesia, langkah awal ialah adanya perbaikan dari sisi regulasi. Dengan regulasi yang mengatur tentang pendanaan partai politik di Indonesia saat ini, dapat dikatakan regulasi tersebut belum berhasil mendorong partai politik bersikap transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangannya.

Ini sesungguhnya merupakan indikasi bahwa partai politik lebih banyak digerakkan oleh dana illegal dan penyumbang besar. Hal itu terjadi karena terdapat masalah-masalah pengaturan yang tidak tuntas dalam undang-undang; serta kelemahan dalam praktek tata kelola organisasi karena pengurus partai politik tidak memiliki kesungguhan dan kemampuan teknis dalam mengimplementasi kehendak undang-undang.

Secara umum, di negara-negara yang sudah maju demokrasinya, terdapat tiga kebijakan untuk mengatasi masalah keuangan partai politik: Memaksa partai politik untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; Ketentuan mengenai transparansi, kontrol dan penegakan pembiayaan partai harus ditetapkan dalam hukum publik.

Hampir setiap kerangka hukum pembiayaan partai akan mencakup beberapa ketentuan untuk pengungkapan, pelaporan, monitoring dan penegakan. Berikut mengenai 3 poin kebijakan untuk mengatasi permasalahan keuangan partai politik, antara lain:

1. Prinsip transparansi mengharuskan partai politik bersikap terbuka terhadap semua proses pengelolaan keuangan partai politik. Di sini sejumlah kewajiban harus dilakukan partai politik, seperti membuka daftar penyumbang dan membuat laporan keuangan secara rutin yang mencatat semua pendapatan dan belanja partai politik sepanjang tahun agar dapat menguji prinsip akuntabilitas yaitu memastikan tanggung jawab partai politik dalam proses menerima dan membelanjakan dana partai politik itu rasional sesuai etika dan tidak melanggar peraturan.

Yang lebih penting, operasionalisasi prinsip transparasi dan akuntabilitas dapat membuka ruang bagi anggota partai politik dan masyarakat untuk mengetahui siapa-siapa yang memberikan sumbangan dan berapa besarannya sehingga mereka bisa efektif mengawasi perilaku partai politik untuk memastikan bahwa dalam pembuatan kebijakan, partai politik tetap mengedepankan kepentingan anggota partai politik dan masyarakat, bukan mengutamakan kepentingan para penyumbang besar.

2. Memberikan bantuan keuangan ke partai politik dari anggaran negara, atau subsidi keuangan partai politik. Saling terkait dalam upaya untuk melepaskan ketergantungan partai politik dari para penyumbang sehingga partai politik tetap bergerak pada jalurnya, yakni memperjuangkan kepentingan masyarakat, konstituen atau anggota. Jadi, perolehan kursi cukup dijadikan sebagai syarat partai politik untuk mendapatkan bantuan keuangan.

Sedangkan berapa besar bantuan keuangan yang diterima masing-masing partai politik, itu tergantung pada jumlah suara yang diperolehnya, karena setiap suara memiliki harga yang sama. artinya, semakin besar partai politik meraih suara, maka semakin besar pula partai politik itu menerima bantuan keuangan.

Daripada menetapkan harga per-suara dengan rumus yang terkesan “matematis” tetapi sulit dipahami, lebih baik menetapkan harga per suara dikaitkan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim sehingga bisa diterima dengan nalar umum.

3. Pengaturan pengeluaran partai politik dapat dilakukan dengan memberikan batasan pada jenis-jenis kegiatan partai politik, dikarenakan selama ini partai politik menentukan kegiatan hanya berdasarkan orientasi mereka untuk mendapatkan suara dari rakyat secara instan.

Akibatnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih banyak menggunakan cara-cara instan pula. Seperti memberikan uang atau barang pada pemilih, memberikan janji yang bombastis. Bahkan ada caleg yang menjajikan seluruh gajinya akan diserahkan kepada masyarakat.

Pembatasan jenis kegiatan, didasarkan pada fungsi utama partai politik yaitu fungsi sosialisasi, fungsi kaderisasi, fungsi rekruitmen, fungsi agregasi kepentingan, fungsi komunikasi dan fungsi pengatur konflik.

Dengan demkian, kegiatan partai politik menjadi lebih terarah dan bekerja sesuai fungsinya. Tujuan pengaturan pengeluaran partai politik yang lain adalah menciptakan kompetisi yang adil antar partai. Setiap partai politi, memang memiliki sumber-sumber pendanaan dan sumber daya yang relatif berbeda.

KESIMPULAN

Partai politik merupakan institusi publik. Mereka tidak hanya hidup di tengah-tengah rakyat, tetapi juga bergerak atas dukungan rakyat. Lebih dari itu, semua sepak-terjang partai politik selalu diatasnamakan rakyat.

Oleh karena itu, ketergantungan partai politik kepada para penyumbang perseorangan maupun badan usaha, tak hanya mengancam keberadaan partai politik sebagai institusi publik, tetapi juga bisa menjerumuskan partai politik kepada kepentingan perseorangan, kelompok atau lembaga lain, yang diatasnamakan kepentingan publik.

Pada titik inilah maka keuangan partai politik perlu diatur agar sumbangan perseorangan, kelompok maupun lembaga lain, khususnya badan usaha, tidak menjadikan partai politik melupakan posisinya sebagai institusi publik, dan tetap bergerak demi kepentingan rakyat banyak.

Dalam rangka memperbaiki sistem pengelolaan political financing di Indonesia, langkah awal ialah adanya perbaikan dari sisi regulasi. Dengan regulasi yang mengatur tentang pendanaan partai politik di Indonesia saat ini belum berhasil mendorong partai politik bersikap transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangannya.

Ini sesungguhnya merupakan indikasi bahwa partai politik lebih banyak digerakkan oleh dana illegal dan penyumbang besar. Hal itu terjadi karena terdapat masalah-masalah pengaturan yang tidak tuntas dalam undang-undang; serta kelemahan dalam praktek tata kelola organisasi karena pengurus partai politik tidak memiliki kesungguhan dan kemampuan teknis dalam mengimplementasi kehendak undang-undang.

Regulasi yang mengatur partai politik harus ditegakan agar setiap partai ataupun politisi melakukan pelanggaran mendapatkan sanksi yang sesuai. Aspek ini sangat penting karena bertujuan untuk menjauhkan partai politik dari penguasaan para pemilik uang agar partai politik bebas memperjuangkan rakyat.

Transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik hanya salah satu aspek yang perlu diatur dalam pengaturan keuangan partai. Selain transparansi dan akuntabilitas, aspek lain yang perlu diatur adalah penerimaan (jenis penerimaan, sumber penerimaan yang boleh dan yang dilarang, syarat penerimaan,dan batas maksimal), pengeluaran (jenis pengeluaran yang boleh dan yang dilarang, batas maksimal, dsbnya), larangan dan sanksi.
Dengan demikian, jika hendak memaksimalkan peran perantara antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus mampu mengatasi masalah finansial, sebab ketersediaan dana merupakan sesuatu yang vital. Dalam rangka mengatasi permasalahan yang ada pun, konsep political financing harus diterapkan sebaik-baiknya dalam sistem pendanaan politik di Indonesia saat ini.

DAFTARPUSTAKA

. Ahmad, Ikhsan. 2015. Pilar Demokrasi Kelima: Studi Kualitatif di Kota Serang, Banten Ed.1 Cet. 1. Yogyakarta: Deepublish.
. Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. 2012. Bantuan Keuangan Partai Politik: Metode Penetapan Besaran, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan, Jakarta: Perludem.
. Hafild, Emmy. 2003. Laporan Studi: Standar Akuntansi Keuangan Khusus Partai Politik. Jakarta: Transparency International Indonesia dan IFES.
. Herbert E. Alexander (ed.) 1989. Comparative Political Finance in the 1980s. Cambridge, UK; Cambridge University Press.
. Ingrid Van Biezen. 2003. Financing Political Parties and Election Campaigns-Guidelines. Strasbourg: Council of Europe Publishing.
. Johnston, Michael. 2005. Political Parties and Democracy In Theoretical And Practical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, And Democratic Development. (New York: The National Democratic Institute for International Affairs)
. Kadmasasmita Djuaeni Achmad, 2006, Akuntabilitas Keuangan Negara: Konsep dan Aplikasi, STIA LAN, Jakarta.
. KOPEL dan Kemitraan. 2013. Pembiayaan Partai Politik Sulawesi Selatan 2013. Makassar: KOPEL dan Kemitraan Partnership.
. Norris, Pippa. 2005. Partai Politik dan Demokrasi dalam Perspektif Teoritis dan Praktis. Jakarta: National Demokratic Institute for International Affairs.
. Prof. Ramlan Surbakti. Peta Permasalahan dalam Keuangan Politik Indonesia. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia.
. Suparmoko. 2003. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE.
. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
. Veri Djunaidi, dkk., 2011 Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan Praktek. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia.