Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Cinta Inggit Garnasih Dengan Soekarno Presiden Pertama Indonesia

Inggit Garnasih (lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 1888 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 13 April 1984 pada umur 96 tahun adalah istri kedua Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.

Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda.

Foto : Referensi Pihak Ketiga

Sekali pun bercerai tahun 1942, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal. Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang.

Berbicara soal sejarah Indonesia, tak bisa tidak, nama Ir. Soekarno tentunya tabu dilewatkan. Betapa tidak, dalam perjalanan menuju Indonesia, nama Bung Karno bergema bukan hanya di tanah air bahkan dengan kemampuannya berorasi hingga mendapat julukan Singa Podium dan betapa rakyat Indonesia sangat mendengarkan suaranya, membuat pemerintah Hindia Belanda belingsatan.

Berkali-kali Soekarno seperti juga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia lainnya seperti Bung Hatta, Syahrir dan banyak lainnya, dimasukkan ke penjara dan hidup menderita dalam pengasingan, semua itu dilakukan pemerintah Hindia Belanda demi membungkam Soekarno dan menjauhkannya dari rakyat.

Tapi semua penderitaan itu tak pernah mampu memadamka api semangat dalam jiwa Soekarno untuk memerdekaan Indonesia. Dan berbicara soal pergulatan Soekarno dalam masa-masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia ada nama seorang wanita sederhana bersahaja yang begitu tulus dan setia mendampingi Soekarno muda melewati masa-masa sulit di penjara dan pengasingan. Dialah Inggit Garnasih.

Foto : Referensi Pihak Ketiga

Banyak memang wanita yang ada di sekitar Presiden pertama republik ini, namun, tanpa niat mengesampingkan peran wanita-wanita lainnya, rasanya memang hanya Inggit Garnasih-lah, sebagaimana yang dikisahkan dalam buku ini bersumber dari banyak buku-buku sejarah lainnya, wanita yang lebih banyak mengalami kepahitan dan kesulitan dalam menemani Soekarno muda sejak masih merupakan mahasiswa Technische Hooge School (sekarang ITB), di Bandung, mendampingi saat Soekarno ditangkap dan dipenjarakan bahkan sampai dibuang ke Ende, Palembang, dan Padang, kembali ke Palembang sebelum akhirnya ke Jakarta dan kembali ke Bandung.

Namun, Inggit tanpa pamrih hanya bisa pasrah saat Soekarno mencintai wanita lain, Soekarno tak ingin menceraikan Inggit, menyadari begitu besar pengorbanan dan ketulusan Inggit untuknya, tapi Inggit, wanita yang sangat tegar dan begitu kukuh memegang prinsip, memilih dicerai daripada harus dimadu.

Jadilah, Inggit yang selama ini mendampingi Soekano melewati masa-masa sulit dalam perjuangan pergerakan menuju Indonesia Merdeka tak bisa memetik buah pengabdiannya saat Soekarno menjadi Presiden pertama republik ini. Inggit tak pernah menjadi First Lady negeri ini dan menikmati hidup dalam Istana Negara, tapi di hati Soekarno nama dan peran Inggit Garnasih mungkin takkan pernah bisa digantikan.

Inggit Garnasih, perempuan Sunda bersahaja ini adalah anak dari pasangan Ardjipan, biasa dipanggil Bapak Jipan dengan Ibu Amsi. Inggit lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17 Februari 1888. Tak banyak catatan sejarah yang mengisahkan masa kecil Inggit Garnasih, begitu pun dengan buku ini.

Hanya diceritakan Inggit Garnasih dilahirkan dengan nama Garnasih, nama Inggit yang kemudian disandangnya berasal dari kisah di masa mudanya, di mana diceritakan banyak yang menyukainya dan ia kerap diberi uang seringgit. Dari situlah nama Inggit dilekatkan padanya. Inggit dari kata seringgit.

Inggit sejak kecil memang memiliki wajah cantik yang menimbulkan rasa sayang di hati siapa pun yang melihatnya. Saat remaja, ada seorang pemuda bernama Sanusi yang menyukainya, dan rupanya Inggit pun menyukainya.

Tapi suatu hari Inggit mendengar Sanusi akan menikah dengan gadis lain. Dibakar rasa cemburu, Inggit yang memang merupakan kembang desa karena parasnya yang cantik itu, tanpa pikir lagi menerima pinangan dari seorang Kopral Residen Bandung bernama Nata Atmadja. Namun pernikahan Inggit dengan Nata Atmadja hanya seumur jagung.

Foto : Referensi Pihak Ketiga

Pada tahun 1904, setelah empat tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Inggit dan Nata Atmadja memutuskan bercerai. Dari pernikahan ini mereka tak dikaruniai anak. Sementara itu rupanya Sanusi yang telah menikah dan memiliki dua orang putra dari pernikahannya itu pun telah bercerai.

Inggit dan Sanusi yang rupanya masih sama-sama saling mencintai ini memutuskan menyambung kembali kisah cinta mereka dan menikah. Awalnya kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis. Sanusi adalah seorang saudagar mebel.

Bisa dibilang kehidupan rumah tangga mereka tak berkekurangan. Terlebih Inggit yang sejak dulu suka bekerja, tak pernah berpangku tangan, sehingga meski sebenarnya seluruh keperluannya sudah tercukupi oleh Sanusi, tapi Inggit tetap suka bekerja menjahit baju perempuan dan anak-anak, ia juga piawai meramu jamu dan bedak.

Namun sayangnya, keharmonisan rumah tangga ini tak berlangsung lama. Inggit belum juga dikaruniai anak dari pernikahannya ini dan di sisi lain, Sanusi belakangan suka keluar malam dan bermain bilyar.

Kegersangan rumah tangga Inggit dengan Sanusi ini makin runyam saat seorang pemuda tampan, mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (Technische Hoogeschool) datang dan menumpang di rumah mereka. Pemuda tampan ini bernama Soekarno.

Soekarno adalah menantu H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Saat Soekarno akan melanjutkan pendidikan di Bandung, Tjokroaminoto meminta bantuan Sanusi yang juga anggota Sarekat Islam untuk mencarikan tempat kost bagi menantu dan putrinya, Siti Oetari.

Inggit yang sering ditinggal Sanusi merasa senang ada yang menemani, jadi ia memutuskan menerima Soekarno dan Oetari tinggal di rumahnya. Namun ternyata rumah tangga Soekarno dan Oetari pun rupanya tengah bermasalah. Oetari masih terlalu belia dan belum memahami sepenuhnya peran istri.

Ia masih merupakan seorang remaja yang gemar bermain dengan teman-teman sepermainan, maklum saat menikah gantung dengan Soekarno pada tahun 1921, usia Oetari baru 16 tahun sementara Sukarno berumur 20 tahun.

Inggit sendiri mencoba menengarai perselisihan dalam rumah tangga muda ini kendati rumah tangganya sendiri bermasalah. Tapi rupanya, Soekarno yang sejak pertemuan pertamanya dengan Inggit sudah jatuh hati pada ibu kostnya yang cantik dan dewasa ini. Ia sering mengeluh pada Inggit tentang perasaannya pada Oetari yang lebih dianggapnya sebagai adik.

Di sisi lain Sukarno juga iba pada Inggit yang kerap ditinggal Sanusi bermain bilyar tiap malam. Pada tahun 1923 Soekarno bercerai dengan Oetari Setelah memulangkan Oetari kepada ayahnya di Surabaya, Soekarno kembali ke Bandung.

Perasaan Soekarno terhadap Inggit rupanya tak lepas dari pengamatan Sanusi, suami Inggit. Namun alih-alih marah, Sanusi malah menganjurkan Inggit menerima Soekarno. Soekarno dinilai sebagai pemuda yang cerdas dan bersemangat, harapan bangsa untuk keluar dari cengkeraman penjajah.

Sanusi yang walaupun menyayangi Inggit berpikir bahwa Soekarno muda, calon pemimpin bangsa ini membutuhkan sosok Inggit, perempuan dewasa keibuan yang diharapkan dapat membimbing Soekarno.

Sementara Inggit yang belakangan lelah dan kecewa dengan kebiasaan buruk Sanusi, suaminya yang suka keluar malam, nyatanya memang menaruh hati juga pada pemuda yang usianya terpaut jauh darinya ini.

Pada tahun 1923, pernikahan Inggit dengan Sanusi juga berakhir. Di tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 24 Maret 1923 Inggit dan Sukarno menikah. Usia Inggit saat itu 35 tahun sementara Sukarno berumur 22 tahun.

Berbeda dengan ketika bersama Sanusi, di mana sebagai pengusaha, Sanusi bisa mencukupi kebutuhan materi bagi Inggit sementara bersama Soekarno yang masih seorang mahasiswa, Inggit harus bekerja seorang diri memenuhi kebutuhan mereka.

Inggit Garnasih sosok ibu Negara yang sangat membantu sang proklamator menuju gerbang kemerdekaan sebelum Soekarno dan Inggit berpisah karena Soekarno memilih Fatmawati menjadi istrinya waktu di Bengkulu, tapi kesetiaan Inggit Garnasih ke Soekarno tetap ada walaupun dalam taraf yang sangat kecil, tetapi di sini Inggit benar-benar berjuang untuk membantu Soekarno memerdekakan bangsa Indonesia melalui material dan moral serta masih banyak lagi.

Sampai sekarang masih banyak pengagum dan komunitas sejarah yang mencintai sosok ibu Inggit Garnasih walaupun tidak semua orang tau sepak terjang ibu Inggit Garnasih. Pengorbanan Inggit Garnasih sampai ke gerbang kemerdekaan Soekarno sangat menjadikan sosok seorang yang tabah, ulet, dan penuh pengertian dalam menghadapi kehidupan yang tak bisa di tebak ke arah mana nanti selanjutnya akan terjadi.

Menjadi wanita tangguh seperti Inggit Garnasih perlu di contoh oleh kaum wanita atau perempuan saat ini.