Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tanya Jawab tentang Gratifikasi Kepada Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri

Mengapa gratifikasi yang diberikan kepada Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri perlu diatur dalam suatu peraturan?

Gratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi  dan  Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut adalah beberapa gambaran yang dapat digunakan pembaca untuk lebih memahami mengapa gratifikasi kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri perlu diatur dalam suatu peraturan.

1.   Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah

Perkembangan  praktik  terkini  pemberian hadiah  di  Indonesia diungkapkan   oleh   Verhezen (2003), Harkristuti (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam studinya  mengungkapkan adanya   perubahan   mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap. 

Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain, Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan  adanya  perkembangan  pemberian  hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang  pemberi  hadiah.  

Demikian  berkembangnya  pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi ‘komisi’ sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa  hal  ini  merupakan  ‘hak  mereka’.  Lukmantoro  (2007) disisi lain membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan  dengan maksud untuk memuluskan  suatu  proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi.

Tanya Jawab tentang Gratifikasi Kepada Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri

Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat.

2.   Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi

Bagaimana hubungan antara gratifikasi dan pengaruhnya terhadap  pejabat  publik?  Salah  satu  kajian  yang  dilakukan oleh  Direktorat  Penelitian  dan  Pengembangan  KPK (2009) mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik ke-pentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara negara menerima gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu   keputusan/jabatan   merupakan   salah   satu   kejadian yang sering dihadapi oleh penyelenggara negara yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah:

  1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa Kepentingan terseamar (vested interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
  2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara;
  3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi; dan lain-lain.

Penerimaan   gratifikasi   oleh   penyelenggara   negara   atau pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar,  semakin  lama  akan  menjadi  kebiasaan  yang  cepat atau lambat akan mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan. Banyak yang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah- sah saja, tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.

Konflik Kepentingan yang Dapat Timbul dari Gratifikasi yangDiberikan kepada Penyelenggara Negara atau Pegawai NegeriPenyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi dari pihak yang memiliki hubungan afiliasi (misalnya: pemberi kerja- penerima kerja, atasan-bawahan dan kedinasan) dapat terpengaruh dengan pemberian tersebut, yang semula tidak memiliki kepentingan pribadi terhadap kewenangan dan jabatan yang dimilikinya menjadi memiliki kepentingan pribadi dikarenakan adanya gratifikasi. Pemberian tersebut dapat dikatakan berpotensi untuk menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat yang bersangkutan.

Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan yang timbul karena gratifikasi tersebut, penyelenggara negara atau pegawai Negeri harus membuat suatu declaration of interest untuk memutus kepentingan pribadi yang timbul dalam hal penerimaan gratifikasi. Oleh karena itu, penyelenggara negara atau pegawai negeri harus melaporkan gratifikasi yang diterimanya untuk kemudian ditetapkan status kepemilikan gratifikasi tersebut oleh KPK, sesuai dengan pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Gratifikasi menjadi unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat seperti: 

  1. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? 
  2. Apa Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi?
  3. Apakah gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat? 
  4. Apakah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum? 
  5. Bagaimana Mengidentifikasi Gratifikasi yang Dianggap Suap?
  6. Bilamana Gratifikasi Dikatakan Sebagai Tindak Pidana Korupsi?
  7. Bagaimana Gratifikasi menurut pandangan Agama?
  8. Jelaskan Pengertian Gratifikasi dan Berikan Contoh Kasusnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat. Dengan latar belakang inilah KPK sebagai insitusi yang diberi amanat oleh Undang-Undang untuk menerima laporan penerimaan gratifikasi dan menetapkan status kepemilikan gratifikasi, berkewajiban  untuk  meningkatkan  pemahaman  penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat mengenai korupsi yangterkait dengan gratifikasi.

Dalam Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih mengangap bahwa memberi hadiah merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar masyarakat bahkan antar bangsa. Nah, disini kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan diatas secara singkat dan jelas.

1. Apa yang dimaksud dengan Gratifikasi?

Pengertian atau defenisi gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor20 Tahun2001, bahwa: “Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” adalah dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan denganmenggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.

2. Apa Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi?

Pengaturan tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam:

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3. Apakah gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat?

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika atau tanpa sarana elektronika.

Disini kita bisa melihat dengan jelas, bahwa gratifikasi adalah sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat ketika memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja, misalnya hadiah yang diberikan berhubungan dengan jabatan atau kepentingan yang dapat merugikan orang lain. Kemudian, yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; lanjut, yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluhjuta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suapdilakukan oleh penuntut umum.

4. Apakah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum?

Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sah dalam pelaksanaan tugas, fungsi danjabatannya dikenal dengan Kedinasan. Dalam menjalankan kedinasannya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sering dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dapat dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait kedinasan dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait Kedinasan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan meliputi penerimaan dari:

  • pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi,pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
  • pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti honorarium, transportasi,akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

5. Bagaimana Mengidentifikasi Gratifikasi yang Dianggap Suap?

Untuk memudahkan pembaca memahami apakah gratifikasi yang diterima termasuk suatu pemberian hadiah yang dianggap suap atau tidak dianggap suap, maka ilustrasi berikut dapat membantu memperjelas. Jika seorang Ibu penjual makanan di sebuah warung memberi makanan kepada anaknya yang datang ke warung, maka itu merupakan pemberian keibuan. Pembayaran dari si anak bukan suatu yang diharapkan oleh si Ibu. Balasan yang diharapkan lebih berupa cinta kasih anak, dan berbagai macam balasan lain yang mungkin diberikan. Kemudian datang seorang pelanggan, si Ibu memberi makanan kepada pelanggan tersebut lalu menerima pembayaran sebagai balasannya. Keduanya tidak termasuk gratifikasi dianggap suap. Pada saat lain, datang seorang inspektur kesehatan yang sedang inspeksi kualitas restorannya dan si Ibu memberi makanan kepada si inspektur serta menolak menerima pembayaran. 

Tindakan si Ibu menolak menerima pembayaran dan si Inspektur menerima makanan ini adalah gratifikasi dianggap suap karena pemberian makanan tersebut memiliki harapan bahwa inspektur itu akan menggunakan jabatan-nya untuk melindungi kepentingannya. Andaikan inspektur kesehatan tersebut tidak memiliki kewenang dan jabatan lagi, akankah si ibu penjual memberikan makanan tersebut secara cuma-cuma?Dengan adanya pemahaman ini, maka seyogyanya masyarakat tidak perlu tersinggung seandainya pegawai negeri/penyelenggara negara menolak suatu pemberian, hal ini dilakukan dikarenakan kesadaran terhadap apa yang mungkin tersembunyi di balik gratifikasi tersebut dan kepatuhannya terhadap peraturan perundangan.

6. Bilamana Gratifikasi Dikatakan SebagaiTindak Pidana Korupsi?

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan ja- batannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:...”

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. 

Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah  yang  berusaha  dicegah  oleh  peraturan  undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap.

7. Bagaimana Gratifikasi menurut pandangan Agama?

Dalam pandangan Islam saling memberi hadiah pada hakikatnya adalah dianjurkan sepanjang dalam konteks sosial, tradisi, kekeluargaan dan agama. Namun demikian pemberian hadiah terkait dengan jabatan/pelaksanaan tugas secara tegas dilarang sebagaimana disebutkan dalam hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Hadiah untuk pejabat (Penguasa) adalah kecurangan”. Dikatakan sebagai kecurangan karena hadiah itu dapat mengilangkan pendenganran, menutup hati dan penglihatan sebagaimana sabda Rasulullah saw yang disampaikan oleh Usamah Bin Malik.

Uang terimakasih yang diberikan saat pelaksanaan tugas juga merupakan suatu hal yang dilarang :“...Sesungguhnya aku mengangkat seseorang   dari kamu untuk suatu tugas yang Allah kuasakan kepadaku, lalu orang itu datang mengatakan, ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Mengapa dia tidak duduk saja dirumah bapak dan ibunya sampai datang hadiah untuknya. Demi Allah janganlah seseorang dari kamu mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali kelak bertemu dengan Allah dengan membawa harta yang diambilnya itu...” (HR Bukhari, Muslim).

Dalam Nahjul Balagha of Nazrat Ali diceritakan bahwa Ali Bin Abi Thalib menolak pemberian hadiah berupa kuda-kuda Persia dengan berkata “Anda telah membayar pajak Anda, sehingga menerima sesuatu dari Anda – walaupun Anda menawarkannya dengan sukarela dan tulus hati – adalah kejahatan terhadap Negara”.

Sedangkan dalam Alquran dijelaskan dalamQS Al Baqarah : 188 ; “dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”

Dalam pandangan kristiani pemberian hadiah kepada pelayan publik tidak selalu berarti suap, namun bukan tanpa pamrih. Sebagaimana disebut dalam Amsal 17:8 “Hadiah suapan adalah seperti mestika di mata yang memberinya, ke mana juga ia memalingkan muka, ia beruntung.” dan“Hadiah memberi keluasan kepada orang, membawa dia menghadap orang-orang besar.” (Amsal 18:16).

Pembesar senang menerima hadiah dan orang yang tahu memberi hadiah yang disukai pejabat pasti sedang menanam budi. Jika pemberian terjadi sebelum si pemberi memiliki masalah, pemberian itu berfungsi seperti ijon.Janganlah memutarbalikan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarblikan perkataan orang-orang yang benar (Ulangan 16:19). Suap dapat memutarbalikkan perkara orang benar dan keadilan (Keluaran 23:8), Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikan perkara orang-orang yang benar.

Menurut pandangan Hindu, korupsi secara umum telah disabdakan dalam Atharvaveda XII.1.1 Kebenaran/kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri (pengekangan diri) pengetahuan dan persembahan (yadnya) yang menopang bumi, Bumi senantiasa melindungi kita, semoga di (bumi) menyediakan ruangan yang luas untuk kita.

8. Jelaskan Pengertian Gratifikasi dan Berikan Contoh Kasusnya?

Untuk memberikan pemahaman tentang gratifikasi dan penanganannya, berikut ini akan diuraikan beberapa contoh kasus gratifikasi baik yang dilarang berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya baca gratifikasi yang dilarang) maupun yang tidak. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil  saja  dari  situasi-situasi  terkait  gratifikasi  yang  seringkali terjadi.Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi- kasi yang sering terjadi adalah:

  • Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
  • Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
  • Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-Cuma
  • Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
  • Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
  • Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
  • Pemberian  hadiah  atau  souvenir  kepada  pejabat  pada  saat kunjungan kerja
  • Pemberian  hadiah  atau  uang  sebagai  ucapan  terima  kasih karena telah dibantu, dll

Itulah jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang gratifikasi dalam masyarakat yang mungkin bisa menjawab sebagian tentang pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita. Semoga artikel tentang Gratifikasi Kepada Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri yang terdiri dari 8 pertanyaan mulai dari defenisi atau pengertian gratifikasi, dasar hukum, cara mengidentifiaksi gratifikasi, contoh gratifikasi bahkan gratifiklasi dalam sudut pandang Agama. Jika suka artikel ini silahkan share dan link blog disertakan.. Terimakasih dan jangan lupa Grtifikasi Akar dari Korupsi.