Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ilmu Politik dari Sudut Pandang Pengantar, Makna dan Institusi Intermediari Politik

Pengantar, Makna dan Institusi Intermediari Politik

Artikel ini akan membahas tentang Pengantar dan Makna sebuah Ilmu Politik tentunya yang terbagi beberapa sub bagian yakni pembahasan tentang makna ilmu politik, kemudian tentang Politik sebuah Pengantar ilmu pengetahuan sosial yang menuju pada sebua negara, selanjutnya pembahasan apakah itu Institusi Intermediari Politik? Nah untuk itu mari kita simak dengan baik isi artikel ini.

A. Pengatar Ilmu Politik

Mark Twain "Setiap orang tahu tentang politik tetapi tak seorang pun  yang memahaminya"

Maurice Duverger; 1981 "Kata ’politik’ di pihak lain, adalah sangat tua dan ada dalam kosa kata setiap orang . Ia menembusi waktu dan karena seringnya dipakai   menjadi sangat samar-samar dan umum".

Dua cuplikan kutipan di atas sengaja dijadikan pembuka tulisan ini. Dua kutipan itu mengisyaratkan sebuah kerumitan dalam memahami ilmu politik. Kerumitan itu nampak dalam istilah Mark Twain—“tak seorang pun yang memahaminya”. Mengapa? Karena politik itu “sangat samar” kata Duverger. Kerumitan dan kesamaran ilmu politik yang kemudian ingin dipecahkan oleh ilmuwan dan teoritisi politik kontemporer.

Salah satu usaha untuk memperjelas sosok ilmu politik, menurut Lisa Harrison adalah dengan cara mencoba menjauhi istilah ‘studi politik’ (political studies), dan lebih memilih penggunaan istilah “ilmu politik” (political science)15. Penggunaan istilah political science akan terlihat bila orang mengadopsi pendekatan minimalis, yang mengatakan bahwa political science adalah ilmu dalam arti ia dapat menyodorkan pengetahuan yang didasarkan pada penyelidikan sistematis. Lebih jauh lagi, tidak ada kekuasaan.

Ilmu Politik dari Sudut Pandang Pengantar, Makna dan Institusi Intermediari Politik


Kategori ini masih perlu ditambahkan. Hasil penelusuran kepustakaan politik menunjukkan bahwa ada tiga fokus utama yang menjadi penekanan ilmu politik20. Pilihan tiga penekanan itu didasarkan pada argumen bahwa sebagian besar ilmuwan maupun teoritisi politik lebih banyak menaruh perhatian pada tema itu. 

Pendek kata, tiga penekanan ini merupakan arus utama dalam definisi  ilmu  politik.  Adapun  penekanan  pertama  dari  definisi ilmu politik adalah negara. Beberapa para teoritisi seperti Ossip K K Flechtheim (1952), GA.Yacobsen dan MH Lipman (1939), J,K. Bluntchi (1921), Barents (1960), Rogers Soltau (1961), dan Ramlan Surbakti (1999), sekedar menyebut nama merupakan ilmuwan terdepan yang menempatkan negara sebagai fokus kajian ilmu politik.

Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa negara dan kekuasaan memiliki tempat penting dalam ilmu politik. Argumen ini diperkuat oleh A Rahman Zainuddin mengatakan bahwa: “konsep kekuasaan dan negara merupakan dua buah konsep yang penting. 

Membicarakan dua konsep itu sesungguhnya adalah membicarakan hakikat, wujud dan ruang lingkup ilmu politik. Dengan membicarakan kedua konsep itu, kita mengetahui hakikat ilmu politik serta permasalahan-permasalahan yang dibicarakan. Kedua konsep ini  juga  dapat  menjelaskan  tujuan-tujuan  yang hendak dicapai ilmu politik, hubungannya dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lain, terutama yang berdekatan dengannya, serta hubungannya dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, peran yang dimainkannya di tengah-tengah ilmu pengetahuan itu dan manfaat yang dapat diberikan kepada manusia”

Para teoritisi politik seperti David Easton (1971), Joice Michell (1969), Karl W Deutsch (1972), Fred W Riggs (1988), Alfred de Garzia (1965), dan Mary Hawkesworth secara tegas mengatakan bahwa   titik   tekan   dari   studi   ilmu   politik   adalah   kebijakan. Salah satu slogan yang terkenal dibuat Frank J Goodnow yang mengatakan “politik berurusan dengan pengambilan kebijakan”. Pendapat ini diperkuat oleh analisis Charles F Andrain yang melihat kecenderungan sebagian para ilmuwan politik yang menafsirkan “politik” sebagai suatu proses untuk membuat kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam pemikiran politik. Pertama, konstruksi argumen yanag sangat cermat. Kedua, rumusan normatif standar, standar perilaku publik. Ketiga, produksi wawasan imajinatif. Keempat, eksplorasi geneologi terhadap asal dan perubahan. Kelima, pembongkaran paradigma. Keenam, analisa morfologi konsep dan kumpulan konsep.

Mengacu pada penjelasan tersebut, maka pemikiran politik merupakan akumulasi bangunan teks dan tulisan para filsuf besar. Akumulasi bangunan teks ini masih menjadi bingkai pendidikan intelektual bagi para mahasiswa ilmu politik. Karya-karya besar para pemikir utama Barat meliputi teks dari dunia kuno seperti tulisan-tulisan  Plato  dan  Aristoteles,  dari  zaman  pertengahan, dan awal zaman modern misalnya karya Aquinas, Hobbes, Locke, Rousseau, Montesqueu hingga buku-buku para penulis modern seperti Kant, Hegel, Marx, Tocqueville, dan John Stuart Mill.

Pemikiran politik yang terbentang, dari zaman kuno— pertengahan, dan modern memiliki tiga garapan yang sama. Pertama,  menjelaskan  sifat  negara  dan  apa  yang  menjadikan suatu negara dianggap sah dan pantas untuk dipenuhi. Kedua, menjelaskan sifat keadilan dan peran atau tidak politik dalam mengamankan keadilan. Ketiga, menjelaskan dan menspekulasikan tentang sifat suatu sistem politik yang baik.

B. Politik Suatu Pengantar

Politik  bukan  lagi  barang  yang  istimewa,  dan  milik  segelintir orang. Tetapi politik adalah barang massal, karena semua orang bisa berbicara soal politik dimana saja dan kapan saja. Intinya adalah politik ada dimana-mana. Karena politik ada dimana-mana, maka sejatinya konsep dasar mengenai ilmu politik juga perlu disosialisasikan dan diajarkan secara massif kepada masyarakat kampus.   Harapannya   supaya   pemahaman   soal   ilmu   politik menjadi jernih dan mendalam. Sebab taksonomi pendidikan meminjam  bahasa  Ramlan  Surbakti mengajarkan  enam tingkatan pengetahuan kemampuan, yakni menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.

Enam tingkatan pengetahuan ini memang sangat ideal. Idealisasi semacam ini perlu ditumbuh-kembangkan dalam lingkup sivitas akademika, agar para mahasiswa memiliki ketajaman dan kedalaman pengetahuan tentang ilmu politik. Untuk membantu memahami ilmu politik, maka buku ini sengaja ditulis untuk memberikan bekal pengetahuan dasar mengenai konsep dan bahasa yang biasa digunakan dalam ilmu politik.

Selain itu, buku ini juga ditulis karena dua pertimbangan khusus. Pertama, studi ilmu politik merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hubungan internasional. Bahkan di sejumlah universitas di Indonesia yang memiliki Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menempatkan mata kuliah pengantar ilmu politik sebagai mata kuliah wajib fakultas. Itu artinya semua mahasiswa akan mengambil mata kuliah ini. 

Kedua, referensi yang ada belum diperbaharui. Padahal perkembangan studi ilmu politik tumbuh dan berkembang secara pesat. Supaya tidak ketinggalan dengan perkembangan studi ilmu politik, maka menghadirkan buku ini merupakan jawaban yang paling tepat. Melek politik. Karena itu politik dalam konteks ini tidak hanya beroperasi dalam lembaga formal negara, melainkan beroperasi dalam relasi sosial antar-individu, komunitas, dan sangat lokalistik.

C. Politik Banyak Makna

Politik memiliki makna yang sangat bervariasi. Hal ini bisa terjadi karena  politik  itu  sendiri  memiliki  dinamika  dan  pertumbuhan di setiap zaman. Sebagai ilustrasi, Otto von Bismarck memaknai ‘politik adalah ilmu tentang yang mungkin, yang dapat dicapai’. Yang ‘mungkin’pasti‘dapatdicapai’.Pemaknaaninimembawakonsekuensi bahwa dalam politik bergerak dalam siklus ‘kemungkinan’. Karena itu, politik dimaknai sebagai seni kemungkinan. Pemaknaan ini memperlihatkan sebuah kesederhanaan dan kemudahan dalam memahami politik.

Bila Bismarck menempatkan politik secara mudah dan sederhana, maka politisi dan mantan presiden Amerika Serikat, Dwight D Eisenhower memaknai politik sebagai sesuatu yang serius dan rumit. Untuk lebih jelasnya Eisenhower, mengartikan politik adalah ‘sebuah profesi yang serius, rumit, dan dalam arti sesungguhnya,   luhur’.   Menempatkan   politik   sebagai   ‘profesi’ atau pekerjaan yang ‘luhur’ tentu mengandung tanggung jawab. Dengan melekatnya sebuah tanggung jawab, maka sudah tentu menjadi aktor politik sangat serius dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang melekat pada dirinya.

Sementara   Williard   Gaylin   mengartikan   politik   adalah ‘menerjemahkan nilai-nilai ke dalam kebijakan umum’. Nilai yang perlu ditransformasikan dalam kebijakan publik adalah kebajikan, keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bagi warga negara. Kebijakan umum sejatinya mengandung semangat populis dengan berpijak pada bagaimana warganya bisa damai dan sejahtera. 

Pendapat   lain   tentang   politik   datang   dari   aktivis   feminisme yang bernama Maggie Humm (2002;350). Dalam bukunya Eksiklopedia Feminisme, menyebutkan politik adalah hubungan yang   distrukturkan   oleh   kekuasaan   dimana   satu   kelompok orang dikontrol oleh orang lain. Poin penting dari definisi Humm adalah ada kelompok orang yang memiliki kekuasaan di satu sisi, untuk mengurangi kewenangan negara/pemerintah. 

Pengurangan kewenangan   negara/pemerintah  melahirkan  debat  pro-kontra di kalangan pengamat. Bagi pemikir liberal, tentu secara tegas mengatakan bahwa pengurangan kewenangan negara merupakan keharusan. Bila perlu, meminjam Amalinda Savirani ((2003;71) proses  governance  tidak  membutuhkan  institusi  manapun seperti negara atau pemerintah. Dengan kata lain, governance without government bisa berlangsung ketika aturan main dalam keberlanjutan sebuah aktivitas, yang berfungsi efektif, meski pengaturan itu tidak datang dari pihak yang memiliki otoritas.

Nalar ini mendapat perlawanan bagi pemikir yang menginginkan fungsi negara maksimal. Baginya, fungsi negara harus maksimal. Mengapa? Karena negara memiliki fungsi dari melayani, mengontrol, mensejahterakan hingga melindungi warganya. Dalam bahasa Robert H Lauer (2003;315), pemerintah itu ada untuk membantu kita, pemerintah mencerminkan kepentingan kita semua. Nalar ini mengukuhkan betapa pentingnya kehadiran negara beserta birokrasinya dalam memberikan layanan dan merespon segala kepentingan warganya. Birokrasi sebagai eksekutor kebijakan memiliki peran penting dalam pengelolaan pemerintahan yang baik, responsif, dan akuntabel.

Menguatnya peran pemerintah dan birokrasi akan berdampak baik bagi perkembangan masyarakat sipil. Pemerintah dan birokrasi yang baik selalu dituntut untuk bermitra atau berjejaring dengan masyarakat sipil dalam membangun tatanan pemerintahan yang beradab dan demokratis. Relasi pemerintah, birokrasi, dan masyarakat sipil bisa terbangun mengutip pendapat Mohtar Mas’oed (2002;62):

Pertama, adanya perwakilan masyarakat sipil dalam lembaga pembuatan kebijakan publik. Kedua, perlu penyediaan mekanisme dalam   pemerintah demi sebuah partisipasi masyarakat sipil dalam program pemerintahan. Ketiga, perwakilan yang mewadahi masyarakat sipil dalam parlemen. Terakhir, menciptakan mekanisme yang memungkinkan masyarakat sipil dapat melaporkan kasus- kasus tindak korupsi yang dilakukan pemerintah, birokrasi, dan swasta. Analisis Mas’oed memperlihatkan kemitraan yang terbangun antara  pemerintah,  birokrasi,  dan  masyarakat  sipil.  Kemitraan ini mengisyaratkan sebuah tatanan politik modern—yang sangat dibutuhkan dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis, akuntabel, dan partisipatif.

D. Institusi Intermediari Politik

Selain lembaga yang sudah disebutkan, buku ini juga memuat institusi intermediari. Institusi intermidiari yang dimaksud dalam artikel ini adalah pemilu, partai politik, kelompok kepentingan, media massa, dan demokrasi. Partai politik, kelompok kepentingan, dan media merupakan sarana yang biasa dipergunakan masyarakat dalam menjalin hubungan dengan politisi ataupun pejabat pemerintah. 

Bahkan, melalui Partai politik, kelompok kepentingan, dan media suara rakyat disalurkan secara demokratis. Sementara pemilu merupakan arena pertarungan antar-elit partai politik, kelompok kepentingan, dan media massa dalam mendapat kekuasaan politik, baik di parlemen maupun di eksekutif. Selain itu, pemilu juga menjadi ukuran demokratis tidaknya sebuah pemerintahan.

Menempatkan pemilu sebagai instrumen demokrasi dan tempat terjadi sirkulasi elit merupakan bagian dari pengimplementasian proyek demokrasi prosedural. Dalam demokrasi prosedural kata Samuel  Huntington (1997;5) ‘prosedural kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk mencapai keputusan politik melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat’. 

Penjelasan Huntington memperlihatkan bahwa pemilu merupakan tempat pertarungan antar elit dalam mendapatkan kekuasaan. Pertarungan itu selalu kompetitif dalam usaha memperoleh suara rakyat. Suara rakyat diperlukan karena sangat berkaitan dengan legitimasi politik seorang pemimpin politik.

Nah demikian pembahasan tentang Ilmu Politik dari Sudut Pandang Pengantar, Makna dan Institusi Intermediari Politik. semoga bermanfaat... Jangan lupa share artikel ini yang membahas makna ilmu politik, kemudian tentang Politik sebuah Pengantar ilmu pengetahuan sosial yang menuju pada sebua negara, selanjutnya pembahasan apakah itu Institusi Intermediari Politik