Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Objek Ilmu Pemerintahan : Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

EKSISTENSI OBJEK ILMU PEMERINTAHAN

Objek Ilmu Pemerintahan : Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Pertanyaan  fundamental  tentang  Ilmu Pemerintahan,  adalah apakah Ilmu Pemerintahan “eksis” atau tidak? Pertanyaan tersebut dapat terjawab secara “sangat memuaskan” melalui “Philosophy of Science”. Syarat pokok dari keberadaan suatu ilmu pengetahuan menjadi titik  awal dari pemaparan tulisan ini. Apakah yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan itu sendiri (ontologis), bagaimanakah ruang lingkup dan objeknya (epistemologis), dan apakah yang menjadi tujuan utama dari ilmu pengetahuan tersebut (axiological)? Ilmu Pengetahuan harus memiliki konsep yang jelas dan terukur. Immanuel Kant, “The fundamental need for concepts and judgments ... (Audi, 1999:464). Pernyataan  tersebut  menegaskan pentingnya menjawab hal-hal yang bersifat fundamental.

Terdapat perbedaan pandangan dari beberapa ahli tentang apa itu, objek, kajian dari Ilmu Pemerintahan. Pada umumnya, Ilmu Pemerintahan dikenal sebagai ilmu yang mempelajari tentang hubungan pemerintah dengan yang diperintah. Kajian secara filsafat ini mencoba menjawab itu semua. Dengan melihat Ilmu Pemerintahan melalui landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi akan diperoleh kahekat dari Ilmu Pemerintahan secara utuh.

Kata kunci: eksistensi, filsafat, ilmu pemerintahan objek ilmu pengetahuan, ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

  • Jelaskan 2 Objek Ilmu Pemerintahan

  • Makalah Ilmu Pemerintahan Ditinjau Dari Ontologi Epistemologi Dan Aksiologi

  • Jelaskan Perkembangan Ilmu Pemerintahan

  • Ruang Lingkup Ilmu Pemerintahan

  • Tujuan Mempelajari Ilmu Pemerintahan

  • Kajian Ilmu Pemerintahan

  • Filsafat Ilmu Pemerintahan

  • Pengertian Ilmu Pemerintahan

Objek Ilmu Pemerintahan  Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan adalah proses dari akumulasi kompetensi , yaitu memiliki kemampuan yang baik   di bidang pengetahuan tertentu yang menjadi ilmu pengetahuan (from knowledge to science), yang berarti memiliki status untuk menjadi   sama dengan ilmu- ilmu pengetahuan lainnya atau dengan ilmu pengetahuan yang lebih dahulu ada, disertai hak dan kewajiban sama. Realitas perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan   adalah   pada interaksi antara subjek dan objek masing-masing dan diiringi keunggulan masing- masing dalam progress, prognosis, innovation, creation,  and certainty.

Perkembangan pengetahuan manusia yang didasarkan pada kualitas pengetahuannya terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:

  1. Nescience; 
  2. Ignorance; 
  3. Doubt;
  4. Suspicion;
  5. Opinion;
  6. Certitude

Tahap yang paling sulit bagi suatu ilmu pengetahuan  adalah mencapai “certitude level”, karena tidak ada lagi keraguan sedikit pun mengenai keberadaan ilmu pengetahuannya. Persoalan yang ada ialah, bagaimana meningkatkan keunggulan ilmu penge- tahuan terhadap ilmu pengetahuan lainnya (open competition).

Kajian secara filsafat pada dasarnya ingin menjawab hakekat dari ilmu itu sendiri. Kajian ilmu secara filsafat terbagi atas landasan ontologi, landasan epistemology, dan landasan aksiologi. Landasan ontologi akan menjawab  objek  apa  yang  ditelaah oleh ilmu. Ini akan menjawab bagaimana wujud hakiki dan objek, bagaimana hubungan antara objek dan daya nalar manusia yang membuahkan pengetahuan. Landasan epistemologi akan menjawab bagaimana proses terjadinya ilmu tersebut. Landasan aksiologi akan menjawab apa manfaat dari ilmu yang dimaksud. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Garna, filsafat ilmu adalah bagian dari epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik adalah untuk mengkaji hakekat ilmu, karena  itu  ilmu  adalah  cabang  ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. 

Garna juga menjelaskan bahwa untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lain maka perlu diajukan pertanyaan apa yang dikaji ilmu pengetahuan itu (ontologi), bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu (epistemologi) dan untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi). Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut akan dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan dalam kehidupan manusia (agama, seni, dan ilmu) dan meletakan pengetahuan tersebut pada tempatnya. seperti ilmu politik, ilmu administrasi negara, ilmu hukum, dan lain-lain.

Ilmu Pemerintahan berasal dari kata ilmu dan pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata pemerintah. Banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tentang Ilmu Pemerintahan. Namun dari pengertian tersebut terdapat perbedaan pada objek forma Ilmu Pemerintahan, sedangkan objek materianya sama yaitu negara/pemerintah.  Objek suatu ilmu pengetahuan  menurut  Inu  Kencana.

STATUS SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

“Certitude level” memiliki 2 elemen dasar, yaitu:

  1. Suatu  perasaan  untuk  menjadi pasti (inside);
  2. Sesuatu hal yang membuat anda bersikap pasti (outside).

Tahap ini merupakan suatu hubungan interaksi yang jelas antara subjek dan objek dalam proses ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Untuk memperoleh status sebagai ilmu pengetahuan dibutuhkan beberapa syarat, yaitu: 

  1. Adanya subjek;
  2. Adanya objek;
  3. Adanya intensionalitas.

Subjek adalah manusia yang menciptakan ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai pengguna ilmu pengetahuan bagi kepentingan umat manusia. Objek adalah manusia, dunia dan akhirat (Verhaak, 1989:2) sebagai objek material dari ilmu-ilmu pengetahuan yang diciptakan. Intensionalitas, berasal dari kata Inggris “intention”, artinya: apa yang anda maksudkan atau rencanakan untuk dilakukan; tujuan Inggris “intention”, artinya: apa yang anda atau telah dilakukan dengan sengaja.

PENGETAHUAN YANG DIDAPAT MANUSIA

Elemen persyaratan untuk ilmu pengetahuan  merupakan realitas  ada dan berlangsung dalam skema hubungan subjek dan objek, se- bagaimana gambar di atas.  Semakin tinggi kualitas hubungan itu, semakin kuat ilmu pengetahuan yang ber- sangkutan.

OBJEK ILMU PEMERINTAHAN

Untuk memahami objek dari Ilmu Pemerintahan, maka salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam filsafat ilmu, yaitu “pendekatan sistematika” yang berasal dari Immanuel Kant (Gahral, 2002:2-5). Inti “pendekatan sistematika”, yaitu setiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki objek dan perbedaan antara ilmu pengetahuan  yang satu  dengan lainnya, dibedakan melalui objeknya.

Kant menggambarkan bahwa objek dari  ilmu pengetahuan  adalah kodratnya tidak jelas, kalau sudah jelas maka tidak menuntut terciptanya ilmu pengetahuan untuk dapat memahami objek dan menjelaskan hubungan- hubungan antar-anasir yang ada serta dapat dipertanggungjawabkan.

Ketidakjelasan objek memberikan konsekuensi adanya nuansa atau nuances dalam pengertian a very small difference in color, tone, meaning, etc (Websters, 2008:1106). Timbulnya berbagai penafsiran dan aliran dalam suatu ilmu pengetahuan adalah kewajaran. Banyak keanehan dan anomali yang terjadi karena nuansa membawa subjek pada kegiatan pemikiran yang indiscriminate and unsystematic translation of his terms Objek (Ding, Gegenstand). Objek sering sekali diterjemahkan dengan tidak hati-hati bahkan seenaknya menurutkan selera dan kenikmatan subjek bahkan ada hawa nafsu politik, sehingga apa yang dihasilkan tidak sistematis sebagaimana yang ada pada objeknya.

Kant  yang  lahir  dan  wafat  di KÖnigsberg Jerman pada tahun 1724-1804, telah membayangkan bahwa perjalanan dan eksistensi  suatu ilmu pengetahuan tidak akan pernah berjalan dengan mulus dan bebas dari kritikan dan gugatan. 

Terminologi Kant terhadap objek dari  suatu  ilmu pengetahuan,    Kant gives the concept of this undetermined thing hood the name ’thing-in-itself ’, using the term Ding an sich, as opposed to Gegenstand or Objekt an sich (Caygill, 2000:304-305). Tidak dapat ditentukan atau diperhitungkan secara tepat karena adanya penutup/cover/ tabir (tirai penyekat) untuk melindungi atau membentengi objek tersebut. Objek tersebut di dalam filsafat dikenal dengan   nama   ‘thing-in-itself ’   atau sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri.

Sebagai contoh, disiplin ilmu antropologi, sosiologi, dan psikologi sama-sama mengkaji manusia (objek materi) namun masing-masing meng- ambil sudut pandang yang berbeda (objek forma). Antropologi mengkaji kebudayaan manusia, sosiologi mengkaji proses-proses interaksi antar manusia dalam masyarakat, sedangkan psikologi mengkaji segala sesuatu tentang   kejiwaan  manusia  (Gahral, 2000:2-5).

Inilah pergulatan ilmu pengetahuan yang tidak  pernah berhenti.  Karl R. Popper dalam bukunya yang terkenal Objective Knowledge mengungkapkan pemikirannya tentang pergulatan ilmu pengetahuan. Kita memiliki alasan untuk berpandangan terdapat  adanya suatu warisan dasar bagi keterampilan kita untuk menemukan atau memahami kebenaran atau arti tersembunyi. Bagaimanapun, kita kadang-kadang membuat kesalahan dalam menemukan atau memahami kebenaran, khususnya selama periode pembelajaran, tetapi juga kemudian, khususnya jika situasi yang tidak biasa terjadi.

Adanya kualitas  yang membuat objek menjadi penting  atau  menarik karena keadaan objeknya demikian (the immediacy) atau adanya hubungan langsung terhadap proses kemapanan pengetahuan dalam menemukan atau memahami kebenaran tidaklah  men- jamin fungsi kesempurnaan; tidak ada kepastian yang absolut, meskipun kepastian cukup memberikan tujuan- tujuan praktis. Pertanyaan untuk adanya kepastian, sebagai dasar keamanan dari pengetahuan, telah berlalu.  

Jadi  saya  (Popper)  melihat persoalan pengetahuan dengan cara yang berbeda dari apa yang dianut oleh para pendahulu saya. Keamanan dan pembenaran terhadap tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada pengetahuan bukanlah menjadi persoalan saya. Malahan, persoalan saya adalah pertumbuhan pengetahuan. Dalam pengertian apa yang dapat kita bicarakan mengenai pertumbuhan atau kemajuan pengetahuan, dan bagaimana cara kita untuk mencapainya?

Persoalan utama dan mendasar adalah apa yang menjadi objek materi dari ilmu pemerintahan? Objek mate- rinya   adalah pengetahuan di bidang pemerintahan. Apa artinya peme- rintahan? Sekelompok orang yang bertanggung-jawab untuk mengen- dalikan suatu Negara.9  Robert M. MacIver, dalam bukunya “The Web of Government”, menulis: “pemerintahan adalah sekelompok orang yang terorganisasi serta memiliki kewenangan, dan mereka berupaya untuk merubah  mitos  tentang  diri  mereka sendiri yang berkuasa, sebagaimana yang terjadi atas sejumlah kepala pemerintahan dan yang diperintah.” 

Menurut Baron de Montesquieu (1689-1755), pemerintahan dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup semua fungsi-fungsi ke- kuasaan yang ada seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan dapat dipahami dalam arti sempit, yaitu hanya fungsi eksekutif. Montesquieu menganggap pemisahan yang ketat di antara  ketiga  kekuasaan itu  sebagai prasyarat kebebasan, seperti dalam ungkapannya, “jika kekuasaan legis- latif disatukan dengan eksekutif, tak akan ada lagi kebebasan”.

Demikian pula  dalam  hal  kuasa  legislatif  dan yudikatif.  Dan  seterusnya  (Sunaryo, 1993:xv). Jadi objek material ilmu pemerintahan adalah pemerintahan yang mencakup semua fungsi-fungsi kekuasaan (triaspolitiqa) dan objek forma ilmu pemerintahan adalah fungsi kekuasaan eksekutif (unipolitiqa). Fungsi kekuasaan legislatif menjadi ranah dari partai-partai  politik  yang berupaya untuk memperoleh suara terbanyak  guna  memperoleh  kursi-kursi perwakilannya. Lingkup ini adalah kompetensi dari Ilmu Politik. 

Fungsi kekuasaan yudikatif adalah lembaga-lembaga peradilan dari daerah sampai dengan tingkat  pusat, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang kompetensinya adalah Ilmu Hukum. Pemahaman di atas dilandasi oleh pendekatan dari Immanuel Kant yang dirangkum dari Critic of Pure Reason (1781), Critic of Practical Reason (1788), Critic of Judgement (1790).

OBJEK PEMERINTAHAN SECARA ONTOLOGIS

Objek pemerintahan secara epistemologis adalah untuk memahami dengan benar dan jelas objek forma yang menjadi bagian dari eksistensi pemerintahan. Pemahaman secara epistemologis adalah kegiatan untuk melakukan focusing on interest. 

Epistemology,  (from  the  Greek ‘episteme’, ‘knowledge’, and ‘logos’, ‘explanation’), the study of the nature of knowledge and justification; specifically, the study of

  1. The defining features;
  2. The substantive conditions or sources; and
  3. The limits of knowledge and justification (Cambridge, 1999:273).

Epistemologi utamanya adalah mempelajari tentang prinsip dasar/ sifat/karakteristik dari pengetahuan dan upaya untuk mencapai kebenaran. Secara rinci,epistemologi mempelajari: (a) bagaimanakah mendefinisikan, apa yang menjadi milik dan atau yang termasuk dalam objek forma dari eksistensi/objek material sebagai bagian yang teramat penting, (b) menentukan (imposed) ketentuan- ketentuan/keadaan atau sumber- sumber pengetahuan yang substansial, serta (c) menentukan batas-batas dari pengetahuan  dan proses untuk  mencapai kebenaran.

Epistemologi adalah ranah dari kemerdekaan dalam kegiatan ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran yang sejatinya. Epistemologi adalah kajian filsafat untuk  mengetahui  dan dengan cara- cara lain yang diinginkan oleh subjek (kebebasan) untuk  memperoleh atau mengambil   sesuatu   yang   berharga serta meyakini dan berupaya keras untuk menemukan kebenaran di dalam objek forma yang diyakininya. Ini adalah lapangan penyelidikan yang utama dari filsafat karena lapangan penyelidikan tersebut berhubungan dengan dua (2) objek utama yang penting dalam penyelidikan filsafat: diri kita (ourselves) dan dunia (the world).

Landasan Ontologi Ilmu Pemerintahan

Landasan Ontologi merupakan wujud hakiki, kahekat dari objek yang diamati/dikaji/ditelaah oleh ilmu pengetahuan yang dimaksud. Berdasarkan pengertian Ilmu Pemerintahan yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara objek forma dari Ilmu Pemerintahan. Hal ini yang kemudian menjadikan kedudukan  Ilmu  Pemerintahan menjadi tidak jelas dan membingungkan. Hal ini disebabkan para ahli dalam memberikan definisi tentang Ilmu Pemerintahan ini berdasarkan latar belakang ilmu-ilmu kenegaraan seperti ilmu politik, ilmu administrasi negara, ilmu hukum, dan lain-lain.

Ilmu Pemerintahan berasal dari kata ilmu dan pemerintahan. Pemerintahan berasal dari kata pemerintah. Banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tentang Ilmu Pemerintahan. Namun dari pengertian tersebut terdapat perbedaan pada objek forma Ilmu Pemerintahan, sedangkan objek materianya sama yaitu negara/pemerintah.  

Objek suatu ilmu pengetahuan menurut Inu Kencana adalah sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan, sehingga dengan demikian objek merupakan apa yang diamati, diteliti, dipelajari, dan dibahas. Objek materia dari suatu disiplin ilmu dapat sama dengan ilmu lain, karena bersifat umum dan merupakan topik yang dibahas secara global tentang pokok persoalan (subject matter). Sedangkan objek forma bersifat khusus dan spesifik karena merupakan pusat perhatian (focus of interest) suatu disiplin ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia juga memberikan perbedaan dan persamaan ilmu-ilmu kenegaraan (yang terdiri dari Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Hukum Tata Negara, Ilmu Negara) ditinjau dari objek material dan objek formanya. 

Persamaan dari ilmu-ilmu kenegaraan tersebut terletak pada objek meterianya, yaitu Negara. Sedangkan, perbedaannya terletak pada objek forma-nya. Objek forma dari Ilmu Politik adalah kekuasaan, kepentingan rakyat, grup penekan. Objek forma dari Ilmu Administrasi Negara adalah pelayanan, organisasi, manajemen, dan birokrasi. Objek forma dari Ilmu Hukum Tata Negara adalah peraturan perundang-undangan. Objek forma dari Ilmu Negara adalah konstitusi, timbul dan tenggelamnya negara. Dan objek forma dari Ilmu Pemerintahan adalah hubungan- hubungan pemerintahan, gejala, dan peristiwa pemerintahan.

Taliziduhu Ndaha mendefinisikan Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari   bagaimana   memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan sipil, dalam hubungan pemerintahan (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian ini maka objek forma dari Ilmu Pemerintahan adalah tujuan pemerintahan.

Inu Kencana Syafiie  mendefinisikan Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi  pemerintahan  (baik  pusat dengan daerah maupun rakyat dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar. Berdasarkan pengertian ini maka objek forma dari Ilmu Pemerintahan adalah fungsi, hubungan hubungan pemerintahan.

Secara gamblang Ndraha  mengemukakan ontologi Ilmu Pemerintahan menggunakan kontruksi pemi- kiran berdasarkan meta disiplin (basic flatform), sehingga  common  flatform dari berbagai disiplin ilmu itu dite- mukan, yaitu hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (hubungan pemerintahan).

Van Ylst  mengemukakan bahwa objek dari Ilmu Pemerintahan itu adalah  pemerintahan  dalam  arti sempit, yaitu kekuasaan eksekutif dan bukan pemerintahan dalam arti luas yang mencakup kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya, dengan diketahuinya objek dari Ilmu Pemerintahan maka salah satu ciri empiris dalam metodologi Ilmu Pemerintahan menjadi jelas. Kejelasan objek dibagi kedalam objek material dan objek forma dari Ilmu Pemerintahan.

  1. Objek material Ilmu Pemerintahan adalah realitas pemerintahan dalam arti yang seluas-luasnya, totalitas  dari  fungsi  kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
  2. Objek forma Ilmu Pemerintahan adalah realitas pemerintahan dalam arti sempit, yaitu fungsi kekuasaan eksekutif.

OBJEK PEMERINTAHAN SECARA EPISTEMOLOGIS

Sistematika epistemologis pada objek  forma  pemerintahan   diambil dari contents book from The Web of Government yang ditulis oleh R.M. MacIVER. Objek pemerintahan secara aksiologis adalah sebuah terminologi modern untuk teori nilai tentang “apa yang diinginkan” (the desired government), “apa yang merupakan pilihan” (the preferred government), dan “apa yang disebut dengan kebaikan” (the good government), dan juga menyelidiki mengenai sifatnya, kriterianya, dan status metafisikanya.

Landasan Epistemologi Ilmu Pemerintahan

Epistemologi merupakan proses dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dimaksud. Mengkaji Ilmu Pemerintahan secara epistemologi dapat di- lakukan melalui perkembangan Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Ilmu Pemerintahan seringkali dianggap sebagai ilmu   pengetahuan yang baru. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha dimana Ilmu Pemerintahan (bestuur- swetenschap) mengalami beberapa tahapan perkembangan. Tahap pertama, gejala pemerintahan dikaji melalui sudut pandang dan cara menurut ilmu yang ada dimasa itu sehingga objek itu menjadi ruang lingkup dan dipelajari sebagai materia atau bagian integral disiplin lain. Seperti ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, ilmu ekonomi, dan ilmu administrasi. Tahap kedua, gejala pemerintahan dipelajari oleh disiplin ilmu pengetahuan yang ada. Sehingga terbentuklah spesialisasi disiplin yang bersangkutan. 

Misalnya ketika sosiologi mempelajari gejala pemerintahan maka lahirlah sosiologi pemerintahan. Sosiologi pemerintahan ini merupakan spesialisasi sosiologi. Tahap ketiga, terbentuk kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang dikonstruksi dari konsep-konsep sumbangan disiplin ilmu yang spesifik tadi. Maka lahirlah disiplin Ilmu Pemerintahan elektis. Ilmu Pemerintahan pada tahap awal seperti bestuurskunde, bersifat ideografik elektis. Inilah awal Ilmu Pemerintahan generasi pertama. Pada tahap keempat, lahirlah Ilmu Pemerintahan yang mandiri yang dikenal sebagai bestuurswetenschap. 

Ilmu Pemerintahan generasi kedua ini didukung oleh metodologi yang berhasil mengidenti- fikasi sasaran formal baru (khusus) diantara sejumlah objek formal lainnya yang gejalanya memiliki keajegan yang cukup untuk dianalistis. Pada tahap kelima, muncul kemampuan denominatif dari Ilmu Pemerintahan. Ketika metodologi Ilmu Pemerintahan digunakan oleh ilmu lain sebagaimana Ilmu Pemerintahan menggunakan metodologi ilmu lain pada saat Ilmu Pemerintahan dikaji sebagai suatu bidang kajian ilmiah (jurusan pada tingkat S1 atau BKU pada tingkat S2) dan jika Ilmu Pemerintahan diakui sebagai disiplin berderajat akademik tertinggi (S3) dan jika Ilmu Pemerintahan dapat diterapkan didalam kehidupan sehari-hari oleh para profesional pemerintahan  yang  terhimpun  di dalam suatu asosiasi profesional. Ilmu Pemerintahan generasi ketiga ini di Barat telah berkembang.

Pada tahap keenam, bagian ilmu yang mempelajari pemerintahan (tahap kedua), misalnya sosiologi pemerintahan, berkembang sedemikian pesat sehingga ia dipandang sebagai sebuah disiplin sendiri yang kemudian membentuk Ilmu Pemerintahan generasi keempat (bestuurswetenschappen) dengan pendekatan multidisiplin dan lintas disiplin. Pada tahap ketujuh, bestuurswetenschappen itu jika berhasil menduduki posisi denominatif, bias balik menyoroti bidang-bidang yang dahulu dikaji oleh induknya. Misalnya dengan menggunakan metodologi sosiologi Ilmu Pemerintahan, Ilmu Pemerintahan generasi keempat mengkaji gejala-gejala atau peristiwa sosiologis. Maka lahirlah disiplin baru seperti Ilmu Pemerintahan sosiologikal dan seterusnya. Pada gilirannya disip- lin ini membentuk Ilmu Pemerintahan generasi kelima.

Ndraha juga menjelaskan bahwa epistemologi Ilmu Pemerintahan itu mengembangkan konsep hubungan pemerintahan dengan menggunakan pendekatan monodisiplin (consept analyses and construction), multi disiplin  (memandang  suatu  konsep/masalah dari berbagai aspek). 

Van Ylst  mengemukakan peng- kajian secara epistemologi terhadap Ilmu Pemerintahan adalah upaya yang perlu dilakukan dengan seksama dan kritik untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan jelas tentang keberadaan ilmu pengetahuan tersebut. Keberadaan Ilmu Pemerintahan yang tidak jelas ruang-lingkup dan objeknya, telah berlangsung lama jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, misalnya ilmu politik. Ada keraguan terhadap eksistensi Ilmu Pemerintahan sehingga banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Pemerintahan tidak memiliki kompetensi yang jelas. Ilmu Pemerintahan dianggap kurang berperan dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan ilmu politik, khususnya peran kontribusi ilmunya terhadap kegiatan pemerintahan.

Menurutnya, kelahiran Ilmu Pemerintahan di Indonesia lebih dida- sarkan pada minat dan objek penye- lidikan field of study yang sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, sehingga dapat dikatakan kelahiran ilmu-ilmu politik  termasuk  Ilmu  Pemerintahan ini sangat dipaksakan kehadirannya, sehubungan dengan perkembangan sosial politik yang cepat serta mem- butuhkan tenaga yang kompeten dibi- dang itu. Dalam keadaan terpaksa inilah, timbullah upaya perintisan

yang dilakukan oleh bidang ilmu pengetahuan lain serta yang lebih mapan keadaannya, seperti ilmu hukum.  Antara  kurun  waktu  1945-1965, hampir semua sarjana hukum di Indonesia terpanggil untuk memulai, menyelenggarakan, dan mengembangkan pendidikan ilmu-ilmu politik. Jadi ilmu politik lahir dari kepentingan dan kabutuhan hukum di Indonesia. Pada saat itu politik menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum menjadi mitos yang menyebabkan ilmu hukum tidak berdaya untuk menghadapi realitas politik. Ilmu hukum memerlukan ilmu politik sebagai upaya untuk menghadapi realitas politik guna melandasi penyelenggaraan pemerintahan.

Selanjutnya,  Indonesia memiliki organisasi profesi ilmiah di bidang ilmu politik yang menjadi wadah dari ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Pemerintahan. Organisasi itu bernama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang berdiri pada tanggal 17 Januari 1985 di Jakarta. Ilmu Pemerintahan sebagai bagian dari ilmu politik yang diwariskan oleh keadaan anomali pada masa awal kemerdekaan, memberikan banyak ketidakjelasan menyangkut keberadaan ilmu pengetahuan tersebut dengan ruang-lingkup bahasannya.

OBJEK PEMERINTAHAN SECARA AKSIOLOGIS

Nilai-nilai tersebut semuanya terdapat di pemerintahan dalam pengertian eksekutif (the government) dan tentunya secara aksiologis harapan (the hope) terhadap nilai-nilai tersebut ada pada yang diperintah (the governed), (MacIver, 1963:7).

Landasan Aksiologi Ilmu Pemerintahan

Landasan aksiologi adalah manfaat/guna/fungsi dari ilmu pengetahuan yang dimaksud. Landasan aksiologi Ilmu Pemerintahan merupakan manfaat/guna/fungsi dari Ilmu Peme- rintahan itu sendiri. Ndraha  mengemukakan fungsi Ilmu Pemerintahan dengan melihat   fungsi   ilmu   pengetahuan yang dikemukakan oleh Fred N. Kerlinger. Ilmu pengetahuan pada umumnya   mempunyai dua fungsi, ke luar dan ke dalam. Ke luar, suatu ilmu pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk mengidentifikasi suatu objek, merekam dan menggambarkan suatu keadaan, menerangkan hu- bungan antargejala, menguji pengetahuan lain dan meramalkan apa yang akan dan dapat   terjadi.   Ke dalam, ia berfungsi sebagai alat untuk menguji dirinya sendiri. 

Ilmu pengetahuan bersifat heuristic, artinya menemukan,  menguji,  mengoreksi dan mengembangkan dirinya sendiri sehingga terus-menerus mampu berfungsi. Jika hal tersebut tidak terjadi, maka ilmu yang bersangkutan masih lemah (tidak didukung oleh cukup fakta yang konsisiten dan relevan) atau ketinggalan jaman (tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menghadapi atau mengantisipasi keadaan, karena zaman sudah berubah) atau tidak appropriate (andaikata ilmu diibaratkan alat, maka busi mati tidak bisa dengan kunci inggris).

Ilmu Pemerintahan (yang merupakan ilmu pengetahuan) memiliki guna teoritis dan guna praktis. Guna teoritis dari Ilmu Pemerintahan ini dengan mengkaji/mengembangkan/ mempelajari Ilmu Pemerintahan untuk kepentingan pengembangan Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Sedangkan guna praktis dari Ilmu Pemerintahan ini dengan mengkaji/ mengembangkan/ mempelajari  Ilmu  Pemerintahan untuk diterapkan dalam kegiatan pemerintahan. Tujuannya untuk melaksanakan fungsi pemerintahan secara maksimal sehingga dapat tercapai kesejahteraan masyarakat.

PENUTUP

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli dalam memberikan pengertian dan sejarah tentang Ilmu Pemerintahan. Ada yang mengatakan bahwa Ilmu Pemerintahan bukanlah ilmu baru. Ilmu Pemerintahan telah ada pada pada awal Abad XX tepatnya di tahun 1841 dimana Clinton Roosevelt menulis buku yang di dalamnya terdapat Ilmu Pemerintahan secara eksplisit. Yang kemudian pemikiran tersebut dikaji oleh Robert Mac Iver dalam bukunya The Web of Government  di  tahun  1947.  Namun ada juga yang mengatakan bahwa Ilmu Pemerintahan merupakan ilmu baru yang muncul pada tahun 1970-an.

Perbedaan lain terletak pada pengertian/definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang Ilmu Pemerintahan. Perbedaan tersebut terletak pada objek forma kajian Ilmu Pemerintahan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan latar-belakang ilmu masing-masing ahli. Perbedaan ini yang menyebabkan ketidak-jelasan tentang kedudukan dan posisi Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Jadi Ilmu Pemerintahan merupakan multiaspek dan multi disiplin. 

Tidak dapat berdiri sendiri dan memerlukan ilmu lain. Kajian Ilmu Pemerintahan secara epistemologi, bekerja sama dengan ilmu-ilmu lain dalam metodologinya. Secara aksiologi, Ilmu Pemerintahan Kepentingan publik yang dimaksud seperti dalam hal aturan, fasilitas, dan pelayanan. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara dalam hal partisipasi publik untuk pencapaian tujuan Negara. Jadi dapat dikatakan bahwa Ilmu Pemerintahan merupakan ilmu pengetahuan yang ilmiah, karena memiliki metodologi/filsafat-ilmu dan memiliki guna/manfaat, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Ilmu Pemerintahan ini tidak dapat berdiri sendiri, namun membutuhkan ilmu- ilmu lain untuk mengembangkan Ilmu Pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Audi, Robert,  1999. The Cambridge Dictionary of  Philosophy. Cambridge University Press.
  • Blauw, Martijn and Duncan Pritchard, 2005. Epistemology A-Z. Finland: Palgrave Macmillan.
  • Budianto, Irmayanti M., 2002. Realitas dan Objektivitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Caygill, Howard, 2000. A Kant Dic- tionary. Blackwell Publishers.
  • Dagobert  D.  Runes.  The  Dictionary of Philosophy. New York: Philosophical Library.
  • Donny, Gahral Adian dan Akhyar Yusuf Lubis, 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan.Depok: Koekoesan.
  • Gahral, Donny Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Teraju.
  • Hutten, Ernest H., 1978. The Origins of Science.Westport, Connecticut: Greenwood Press.
  • MacIver, R.M., 1963. The Web of Government. New York: The Macmillan Company.
  • Martin, Robert M., 1991. The Philosopher’s Dictionary. Canada-USA: Broadviewpress.
  • Montesquieu, 1993. Membatasi Kekuasaan. Jakarta: Gramedia.
  • Popper, Karl R., 1974. Objective Knowledge. Oxford: The Clarendon Press.
  • Pranarka, A.M.W., 1987. Epistemologi Dasar. Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS.
  • Roosevelt, Clinton, 1841. The Science of Government. New York: Dean & Trevett.
  • Taryadi, Alfons,  1989.  Epistemologi Pemecahan Masalah. Jakarta: Gramedia.
  • The Author, 1822. Introduction to The Science of Government. USA. Universiteit  Leiden, 2004.
  • Bestuurskunde. Leiden. Van  Poelje,  G.A.,  Prof.  Dr.,  1959. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan. Jakarta: NV Soroengan.
  • Verhaak  C.  dan  R.  Haryono  Imam, 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
  • Webster’s, Merriam, 2008. English Dictionary. Massachusetts, USA: Merriam-Webster, Springfield.
  • Zagzebski, Linda, 2009.  On Epistemology, Canada: Wadsworth Cengage Learning.
  • Garna, Judistira K. 2010. Filsafat Ilmu.
  • Bandung: Primaco Akademika. Kencana S, Inu. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan.  Bandung:  Refika Aditama.
  • Munasef. 1985. Sistem Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
  • Ndraha, Taliziduhu. 1983. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara., 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru).  Jakarta: Rineka Cipta.
  • Poelje. D.G.A.    1953.    Algemene inleiding tot de bestuurskunde. Samson N.V.: Alphen aan den Rijn.
  • Suryaningrat, Bayu, 1980. Mengenal Ilmu Pemerintahan.  Jakarta: Aksara Baru.
  • Van Ylst, Franciscus. 1998. Hakekat Ilmu Pemerintahan. (Tesis). Depok:  UI. 2008. Epistemologi Ilmu Pemerintahan.  (Disertasi). Depok: UI.
Sekian Makalah, Skripsi, Jurnal Objek Ilmu Pemerintahan : Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.