Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eksistensi dan Debat Pembaharuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers | Selaihox

Eksistensi Undang-Undang Pers dan Debat Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Selaihox. Artikel kali ini kita akan membahas tentang Eksistensi dan Debat Pembaharuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mari siimak dengan cermat isi artikel ini agar tidak gagal paham. Artikel tentang Eksistensi Undang-Undang Pers dan Debat Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selaihox. Artikel kali ini kita akan membahas tentang Eksistensi dan Debat Pembaharuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mari siimak dengan cermat isi artikel ini agar tidak gagal paham. Artikel tentang Eksistensi Undang-Undang Pers dan Debat Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

A. Kepentingan Pembuat Undang-Undang Pers

Pada suatu hari, saya bertemu seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi pers. Beliau meminta Dewan Pers (DP) mengambil prakarsa pembaharuan Undang- Undang Pers (UU No. 40 tahun 1999). Pada pertemuan singkat itu, tidak ada kesempatan membicarakan alasan-alasannya. Saya katakan,  jangan-jangan  isi  undang-undang  baru  lebih  mundur dari keadaan sekarang. Beliau menjawab, DP-lah yang akan menentukan isinya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan sedikit menyangkut pembentukan undang-undang, saya ragu atas argumentasi tersebut.

Pertama, DP bukan unsur dalam pembentukan undang- undang. Paling-paling keterlibatan DP atau pers pada umumnya, hanya terbatas pada lobby atau pressure melalui media. Kedua, meskipun konsep RUU dirancang oleh DP atau media (pers), tidak akan luput dari kehendak DPR dan pemerintah. Tidak dapat dihindari unsur atau proses politicking. Undang-undang adalah produk politik. Esensi politik adalah kepentingan.

Dulu ketika mahasiswa, saya dapat pelajaran yang menyatakan, dalam politik there is no permanent friend and there is no permanent enemy, but permanent inlerest. Lebih lanjut kami diajarkan, interes politik yang paling dalam adalah kekuasaan, yaitu mempengaruhi agar semua kegiatan berbangsa dan bernegara dijalankan sesuai dengan filosofi, ideologi, doktrin, atau kebijakan (politik, ekonomi, sosial) dari kekuatan politik yang saling berpengaruh. Lebih awal atau lebih rendah dari itu, suatu kepentingan kekuasaan tidak lain dari upaya memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Power for the sake of power. Politik adalah sekedar power game. Tidak ada  tujuan  sosial  tertentu  yang hendak dicapai. Lebih rendah lagi, kekuasaan semata-mata diartikan sebagai privilege dan facilities. Hal semacam itu dapat saja terjadi pada pers. Pembaharuan Undang- Undang  Pers  bukan  atau  tidak  sepenuhnya  demi  kepentingan pers, tetapi memuat juga kepentingan pembuatnya. Mungkin kekhawatiran ini berlebihan. Tetapi layak untuk diperhitumgkan.

B. Praktik Pembaharuan atau Perubahan Undang-Undang

Di negeri ini, ada suatu kesulitan besar menulis di bidang ilmu hukum positif. Demikian pula ilmu politik yang menggunakan undang-undang sebagai referensi. Peraturan perundang-undangan yang menjadi salah satu sumber atau bahan penulisan cepat sekali berubah. Kesulitan paling besar, menulis hukum positif tata negara atau hukum positif administrasi negara. Sebuah buku atau tulisan menjadi usang bahkan akan menyesatkan pembaca, hanya dalam beberapa tahun (paling lama lima tahun).

Ada semacam ritual tetap pembentuk undang-undang untuk mengubah atau mengganti undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden, undang-undang pemilihan umum, undang-undang partai politik, undang undang penyelenggara pemilihan umum, undang-undang pemerintahan daerah. Demikian pula undang- undang tentang alat-alat perlengkapan negara yang lain, seperti undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPD, DPRD, undang- undang KPK, undang-undang Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman di bawahnya, undang-undang Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Tetapi undang-undang yang menyangkut atau berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak kurang mendapat perhatian, seperti pembaruan hukum pidana, perubahan hukum perdata, pembaharuan hukum acara, pembaharuan hukum agraria, sama sekali tidak menjadi prioritas.

Kalau diperhatikan, yang selalu diubah adalah undang- undang  yang  berkaitan  dengan  membagi  kue  kekuasaan  atau untuk menjamin kelanggengan kekuasaan. Hal ini menunjukkan kekuasaanlah yang menjadi pangkuan. Setali tiga uang dengan politik sebagai panglima. Politik sebagai panglima tidak lain politik untuk kekuasaan belaka. Berbagai undang-undang politik lebih menyempitkan rakyat. Misalnya dalam undang-undang pemilihan presiden  dan  wakil  presiden  diatur,  antara  lain,  hal-hal  yang dilarang pada saat kampanye, seperti larangan membagi kaos, membagi topi. Bagi rakyat kecil atau yang berkumpul menghadiri kampanye, mendapat kaos atau topi adalah satu kegembiraan atau kebanggaan.

Bagi kita yang menonton juga gembira karena disuguhi warna warni yang menarik. Dari segi teori perundang-undangan (wetgeving theorie), mengatur hal semacam itu berlebihan, dan pasti akan dilanggar. Dalihnya mudah untuk menyimpangi peraturan semacam itu. Mereka membeli sendiri atau dibuat atas inisiatif mereka sendiri. Salah satu uraian dalam teori perundang-undangan, makin banyak diatur makin banyak pelanggaran. Apalagi kalau peraturan itu harus ditegakkan dengan sanksi. Alhasil akan terjadi tambahan kriminalisasi dibandingkan dengan upaya dekriminalisasi. Sedangkan di dunia ini, politik pemidanaan justru diarahkan pada dekriminalisasi bukan kriminalisasi.

Ada pelajaran lain dari teori perundang-undangan, yaitu jangan   mudah   mengganti   undang-undang   (membuat   baru). Cukup dengan perubahan, itupun kalau sangat perlu. Sepanjang masih dapat “dihidupkan” dengan praktek biarlah praktek yang mengaktualisasikan suatu peraturan. Karena itu, di negara-negara yang sudah tua, diketemukan undang-undang yang sudah berusia ratusan tahun. Misalnya, Bill of Rights di Inggris, ditetapkan tahun 1868. Sampai sekarang masih berlaku. belum lagi menyebut “Magna Carta” dari abad XIII. Untuk menguji perlu atau belum perlu perubahan, memerlukan pengkajian dan penelitian. Lagi-lagi di negara tua, biasa sekali dibentuk komisi negara (staat cornmisie) untuk menyelidiki pembaharuan atau pembuatan undang-undang. Tidak boleh membuat undang-undang seperti membuat “mie instant”, apalagi ada pikiran spontan yang timbul pada saat rapat, tanpa dasar konsepsi yang kuat.

Mengapa  cukup  dengan  perubahan,  tidak perlu  membuat :
1. Pertama, materi muatan ketentuan-ketentuan lama masih akan tetap dipertahankan. Perubahan atau penambahan hanya beberapa yang baru.
2. Kedua, perubahan akan lebih mudah, karena tidak perlu mengkaji atau memperdebatkan lagi materi muatan yang tidak akan diubah, kecuali terhadap yang berkaitan erat dengan perubahan atau penambahan.  
3. Ketiga, proses penyempurnaan atau penambahan lebih efektif dan efisien. Efektif karena resources yang diperlukan lebih sedikit, misalnya biaya perubahan lebih murah daripada membuat yang baru. Efisien, karena waktu akan lebih singkat. Waktu yang singkat tidak hanya kepentingan internal melainkan eksternal yaitu “campur tangan” dari pihak-pihak yang tidak paham benar mengenai materi muatan (pengetahuan terbatas), tidak memiliki suatu kepentingan (bukan stakeholders), melainkan semata-mata didorong semangat “avonturisme” untuk menekan setiap proses politik.

C. Pers dan UUD

UUD (UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS ‘50) tidak mengatur secara eksplisit pers (media) yang berisi jaminan dan perlindungan kemerdekaan pers. Dasar konstitusional pers diatur tidak langsung yaitu sebagai bagian dari kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28), kebebasan menyatakan pikiran (Pasal 28E ayat 2), hak berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F).

Sejumlah kalangan pers (wartawan), belum puas atas ketentuan UUD yang disebutkan di atas. Mereka menghendaki agar dalam UUD ada penegasan mengenai jaminan dan perlindungan kemerdekaan pers. Bahkan, seperti Saudara Ridlo Eisy, hampir pada setiap kesempatan menyatakan di Indonesia belum cukup jaminan kemerdekaan pers.

Pada waktu menghadapi gelombang perubahan UUD, sejumlah  wartawan,  sangat  gigih  agar  meniru  Amandemen  ke-1  UUD  Amerika  Serikat  (1791).  Amandemen  ke-1  selengkapnya berbunyi: “Congress  shall  make  no  law  respecting an  establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof, or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances“. (Kongres dilarang membuat undang-undang mengenai keberadaan agama, atau melarang beribadah menurut agama yang bersangkutan; atau membatasi (mengurangi) kebebasan berbicara atau pers; atau hak rakyat untuk berkumpul dengan damai, dan hak menggugat pemerintah untuk menuntut ganti rugi).

Usul amandemen ini (termasuk sembilan amandemen lainnya) pertama kali diajukan 25 September 1789. Mulai berlaku (karena telah diratifikasi dua pertiga dari seluruh negara bagian), tahun 1791. Sedangkan Negara Bagian Connecticut, Georgia, dan Massachusetts, baru meratifikasi tahun 1939. Walaupun demikian, amandemen-amandemen tersebut sebagai kaidah konstitusi telah mengikat tiga negara bagian tersebut sejak 1791. Hal ini didasarkan pada ketentuan UUD pasal VI ayat (2) yang menyebutkan:

“This Constitution, and the Law of the United States which shall be made in Pursuance thereof: and all Treaties made, or which shall be made, tinder the Atrthority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the Judges in caeyv State shall be bound thereby, any Thing in the Constitrrtion m Laws of any State to the Contrary notwithstanding“. (UUD ini dan Undang-Undang Federal yang dibentuk sesuai dengan UUD; dan semua Perjanjian Internasional yang telah ada atau yang akan diadakan yang dibuat berdasarkan wewenang Federal, merupakan hukum tertinggi di seluruh negara. Para hakim Negara Bagian terikat. Segala ketentuan dalam UUD Negara Bagian yang bertentangan dengan UUD Federal, Undang-Undang Federal, dan perjanjian Internasional yang dibuat oleh Federal tidak berlaku).

Mengapa Amandemen ke-1 memilih perumusan negatif (melarang membuat undang-undang)? Mengapa tidak dirumuskan secara positif yaitu menjamin dan melindungi kemerdekaan pers?

  1. Pertama, pandangan filsafat. Pada abad itu, filsafat hukum alam sangat dominan. Hak-hak asasi adalah hak-hak alamiah yang diatur dan tunduk pada hukum alam. Hukum positif pada dasarnya tidak berhak mengatur hak-hak alamiah, kecuali sekedar untuk memperkuat. Hukum positif yang bertentangan dengan hukum alam, bukan hukum Kemerdekaan (kebebasan) pers (freedonn of the press) merupakan hak alamiah, karena itu tidak boleh diatur dengan hukum positif.
  2. Kedua, pandangan praktis. Tidak mudah merumuskan secara rinci isi kemerdekaan (kebebasan) pers. Karena itu, akan lebih mudah dirumuskan secara negatif. Dalam perjalanan, yang tidak ada adalah undang-undang pers. Tetapi didapati berbagai undang-undang yang berkaitan dengan pers, termasuk pembatasan-pembatasan, seperti Freedom  of  Information Act (FoIA). Bagi ahli hukum, ketentuan dalam UUD sudah mencukupi Sepanjang menyangkut pers atau media, ketentuan UUD Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 28F, tidak mungkin ditafsirkan lain, kecuali jaminan dan perlindungan kemerdekaan (kebebasan) pers (media). Kalaupun ada undang- undang yang tidak sesuai atau tidak mencerminkan ketentuan- ketentuan UUD di atas, sangat nyata sebagai inkonstitusional dan dapat diperkarakan di Mahkamah Konstitusi.

D. Pembaharuan Undang-Undang Pers

Ada beberapa motif sebagai pendorong perubahan Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999).

1. Pertama, pada sejumlah kalangan terutama dari anggota penyelenggara negara dan pemerintahan--berpendapat, Undang-Undang Pers terlalu banyak memberi peluang pada kemerdekaan (kebebasan) pers. Undang-Undang Pers melarang pemerintah campur tangan terhadap urusan dan masalah pers. Penerbitan pers tidak lagi memerlukan surat izin penerbitan pers (dikenal dengan sebutan SIUPP). Karena tidak ada SIUPP, pemerintah tidak dapat menggunakan penerbitan SIUPP atau pencabutan SIUPP sebagai sarana mengendalikan pers. Pemerintah dilarang melakukan sensor, pembredelan, atau pelarangan terbit atas suatu media (pers). Satu- satunya jalan adalah melalui proses hukum. Itupun tidak mudah. Komunitas pers baik sendiri-sendiri maupun melalui organisasi wartawan dan Dewan Pers tidak pernah membiarkan wartawan atau media menjalani proses hukum, terutama perkara pidana. Komunitas media berpendapat, Undang-Undang Pers melindungi. aktivitas jurnalistik pers. Selain itu, peradilan pidana terhadap pers bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi.

2. Kedua, Undang-Undang Pers diharapkan mengatur lebih rinci pembatasan-pembatasan kemerdekaan pers, seperti pembatasan- pembatasan yang   berkaitan dengan ketertiban umum, keamanan nasional, dan lain- lain. Secara asasi, hal-hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Pers. Selain itu ada berbagai undang- undang lain juga berlaku untuk pers  yang  mengatur  tentang pembatasan-pembatasan, seperti Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan lain-lain. Pers sangat menyadari dan menerima pembatasan-pembatasan tersebut (supra). Bukan soal perlu dan tidak perlu pembatasan.  Bagi pers, yang dipersoalkan adalah ukuran dan wujud konkret pembatasan-pembatasan tersebut. Pers tidak dapat menerima kalau pembatasan itu semacam cek kosong atau blanko mandat yang dapat diisi menurut selera dan keadaan yang mudah (dapat) disalahgunakan. Setiap pembatasan, akan secara langsung bersentuhan dengan kemerdekaan pers, sebagai salah satu prinsip asasi dalam demokrasi dan hak asasi. 

3. Ketiga, Undang-Undang Pers harus memuat ketentuan yang berkaitan dengan pers sebagai kegiatan ekonomi (industri). Ada beberapa persoalan yang berkaitan dengan pers sebagai kegiatan ekonomi (industri). Hal-hal yang perlu diatur antara lain, mencegah penguasaan monopolistik atas perusahaan pers. Kepemilikan dilarang mempengaruhi kemerdekaan pers demi kepentingan bisnis pers. Pengaturan hubungan kerja yang lebih jelas dan rinci antara pemilik perusahan pers dengan redaksi dan wartawan, dan lain- lain. 

Sepanjang mengenai pencegahan pers monopolistik, dapat diterapkan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 40 Tahun 1999). Di beberapa negara diatur tata cara pengambilalihan atau merger perusahaan pers. Di Inggris berdasarkan Fair Trading Act (1973)-ditentukan tata cara sebagai berikut:

  • Apabila  akuisisi  atau  merger  satu  atau  lebih  suratkabar yang bertiras lebih dari 500.000 eksemplar, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Perdagangan dan Industri.
  • Menteri Perdagangan dan Industri akan memberikan persetujuan setelah mendengar pertimbangan Competition Commission, Monopolies, and Mergers Commission. Komisi ini  memeriksa  dan  memberi  pertimbangan akibat  akuisisi atau merger tersebut terhadap kepentingan publik. Menteri Perdagangan dan Industri dapat menyetujui suatu akuisisi atau pengambilalihan walaupun belum atau tidak ada pertimbangan Komisi Persaingan apabila suratkabar yang bersangkutan secara nyata menjadi tidak ekonomis atau akuisisi atau pengambilalihan merupakan suatu kemendesakan untuk penyelamatan.

4. Keempat, perubahan tata cara mengisi keanggotaan Dewan PersBerdasarkanUndang-UndangPersyangada,keanggotaanDewan Pers dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers dan diangkat dengan Keputusan Presiden. Pemikiran baru menghendaki-seperti KPI dan KIP semestinya anggota Dewan Pers dipilih oleh DPR. Komunitas pers berpendapat sistem keanggotaan yang diatur UU No. 4 Tahun 1999 sudah tepat sebagai cara menjaga independensi Dewan Pers. Pemikiran melalui DPR akan membuka peluang politicking keanggotaan Dewan Pers. Bagaimanapun juga keikutsertaan DPR dalam pemilihan anggota Dewan Pers, akan ada unsur-unsur pertimbangan dan kepentingan politik. Sesuatu yang alamiah DPR sebagai pelaku dan lembaga politik tidak mungkin lepas dari pertimbangan dan kepentingan politik.

5. Kelima, Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999) telah berusia lebih dari 10 tahun dan dibuat dalam masa kebangkitan kemerdekaan pers (kebangkitan reformasi). Sudah waktunya dikaji kembali. Berbagai perubahan telah atau sedang terjadi yang belum tertampung dalam Undang-Undang Pers, seperti pengaturan mengenai keselamatan wartawan ketika melaksanakan tugas pers meliput bencana (termasuk kewajiban redaksi dan perusahaan pers), pengaturan yang lebih rinci mengenai jaminan kesejahteraan wartawan,  penyempurnaan  kode  etik  dan  lain-lain.  UU No. 40 Tahun 1999 belum mengatur jurnalisme warga, pers online, yang berkembang dengan pesat. Apakah jurnalisme warga ada di dalam atau di luar jurnalisme? Sesuatu yang mesti ditentukan undang- undang, karena akan menyangkut hal dan kewajiban pelaku jurnalisme warga.

6. Keenam, penegasan hubungan antara Undang-Undang Pers dengan peraturan-peraturan yang bersifat umum. Apakah Undang- Undang Pers lex specialis atau bukan lex specialis.

7. Ketujuh, kemungkinan perluasan wewenang Dewan Pers. Dewan Pers tidak sekedar sebagai penegak kode etik, tetapi memiliki wewenang hukum tertentu. Tentu  masih  ada  alasan-alasan  lain  yang  dapat  menjadi dasar atau alasan memperbaharui Undang-Undang Pers (UU No. 40  Tahun  1999),  termasuk nama undang-undang. Apakah tetap undang-undang pers atau undang-undang media.

Komunitas pers, termasuk DP, menyadari berbagai kekurangan Undang-Undang Pers yang ada (UU No. 40 Tahun 1999). Di pihak lain, ketentuan-ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 1999, menunjukkan kemampuan sebagai dasar menjamin dan melindungi kemerdekaan pers. UU No. 40 tahun 1999 telah mengatur secara memadai kewajiban hukum dan etik yang mesti ditaati oleh komunitas pers. Dewan Pers dalam batas-batas wewenang yang diberikan undang- undang cukup efektif rnenyelesaikan persoalan-persoalan hubungan internal maupun eksternal pers.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, komunitas pers berpendapat Undang-Undang Pers yang ada, masih memadai sebagai sarana memelihara pers yang merdeka. Wewenang Dewan Pers untuk membuat keputusan-keputusan yang dipergunakan sebagai aturan internal komunitas pers, adalah penopang efektivitas Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, komunitas pers masih mencemaskan tatanan politik yang berjalan dapat menjamin prinsip-prinsip   kemerdekaan   pers   yang   telah   diatur   dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Kekhawatiran ini cukup beralasan. Unsur-unsur partisanship yang terlalu menonjol dalam mekanisme politik, dapat merugikan atau menyurutkan kemerdekaan pers sebagai sarana demokrasi dan hak asasi.

Sekian artikel tentang Eksistensi dan Debat Pembaharuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (Eksistensi Undang-Undang Pers dan Debat Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers), semoga bermanfaat..

Blog