Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat - Pers dan Demokrasi | Selaihox

Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat

Pers sebagai Cabang Kekuasaan KeempatCabang kekuasaan keempat dipertalikan dengan ajaran Montesquieu yang memilah kekuasaan dalam negara menjadi tiga cabang: legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang atau melaksanakan pemerintahan),  dan  yudikatif (kekuasaan mempertahankan atau menegakkan  undang-undang).  Emmanuel  Kant  menamakan ajaran ini trias politica. Perlu dicatat, Montesquieu dengan sengaja menggunakan  kata  “undang-undang”. Hal  ini  berkaitan  dengan pandangannya bahwa hukum itu mesti dalam bentuk undang- undang (hukum tertulis). Paham ini dalam ilmu hukum disebut legisme. Pernah di mana-mana, terutama pada masa kejayaan paham kodifikasi, termasuk juga masa Hindia Belanda di Indonesia (diatur dalam AB, 1847).

Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat - Pers dan Demokrasi | Selaihox

Legisme tidak sama dengan legalisme atau legalistik. Menurut paharn legalisme, semua tindakan harus mempunyai sandaran hukum (tertulis atau tidak tertulis) yang sudah ada sebelum tindakan dilakukan. Legalisme (legality) merupakan salah satu unsur negara hukum. Inilah makna, “hakim wajib memutus menurut hukum”. Kalau tidak, hakim dapat sewenang-wenang. Menurut Montesquieu, cabang-cabang kekuasaan ini harus terpisah  atau  dipisah  satu  sama  lain.  Setiap  cabang  kekuasaan ada pada penyelenggara yang berbeda-beda, tidak boleh di satu tangan atau ada penggabungan. Karena itu, ajaran ini disebut juga ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers, scheiding van machten).

Mengapa harus terpisah? Menurut Montesquieu, segala bentuk penggabungan dua kekuasaan di satu tangan, apalagi ketiganya di satu tangan sehingga kekuasaan menjadi absolut, akan melahirkan pemerintahan yang sewenang-wenang (arbitrary). Mengapa? Lebih lanjut Montesquieu melukiskan: Pengalaman menunjukkan, kekuasaan itu mengandung sifat keserakahan (greedy) dan penguasa selalu berusaha memperbesar dan memperbanyak kekuasaannya yang akan menuju kekuasaan mutlak dan sewenang- wenang. Untuk menghindari kecenderungan negatif tersebut dan mencegah perbuatan sewenang-wenang, kekuasaan harus dibatasi. Pemisahan kekuasaan merupakan cara membatasi kekuasaan dan sekaligus sebagai cara mencegah pemerintahan yang sewenang- wenang.

Walaupun sudah dipisah-pisah, Montesquieu tetap khawatir. Ada kemungkinan masing-masing cabang membangun kekuasaan absolut dalam lingkungannya sendiri, sehingga akan melahirkan bentuk-bentuk kesewenang-wenangan baru. Untuk menghindari hal ini, Montesquieu mengajarkan pula konsep checks and balances (lihat, The Spirit of the Laws).

Dalam perkembangan, teori pemisahan kekuasaan bukan satu-satunya teori pembatasan kekuasaan. Ada teori-teori lain, seperti teori negara hukum (the rule of law), teori konstitusi (constitutionalism), dan teori demokrasi atau kedaulatan rakyat, dan  ajaran  hak  asasi  manusia.  Bahkan  para  ahli  dari  masa  ke masa sependapat, teori pemisahan kekuasaan Montesquieu tidak mungkin diterapkan. 

Tidak mungkin memasang dinding pemisah absolut antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain. Kritik ini melahirkan modifikasi yang disebut ajaran pembagian kekuasaan (devision of powers, atau distribution of powers) (lihat, antara lain Kranenburg, Algemene Staatsleer). Bahkan pada permulaan, ada yang  sangat  meragukan  ajaran  Montesquieu  dan  menyebutnya seperti rumah-rumahan yang disusun dari kartu. Setiap saat akan roboh. Ajaran ini paling lama sepanjang hayat Montesquieu. Sesudah  itu  akan  dilupakan  orang.  Ternyata  ramalan  ini  keliru. Bung  Hatta  pernah  menggunakan  model  rumah-rumahan  dari kartu ini, ketika mengomentari dan meramal demokrasi terpimpin ciptaan Soekarno. Ramalan Bung Hatta benar. Demokrasi terpimpin dilupakan bersamaan dengan hilangnya kekuasaan Soekarno (lihat, Demokrasi Kita).

Dalam praktik, ajaran pembagian kekuasaan inilah yang banyak diterapkan. Secara historis, UUD Amerika Serikat (1787) dan  UUD  Perancis  (1791)  yang  paling  mendekati  pelaksanaan ajaran Montesquieu. Selain pemisahan cabang-cabang kekuasaan dengan wewenang enumeratif (kecuali   kekuasaan   Presiden), praktik pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat, nampak antara lain, pengadilan tidak berwenang memberikan advisory opinion, atau memberi pendapat hukum di luar case and controversy (di kita lazim disebut fatwa).

Dalam perjalanan, meskipun kerangka UUD tidak berubah, tetapi   secara   substantif   terjadi   berbagai   pergeseran.   Selain melalui checks and balances, praktik ketatanegaraan menghadapi realitas baru, sehingga terjadi pergeseran. Menurut UUD Amerika Serikat, kekuasaan membentuk undang-undang semata-mata ada pada Kongres. Dalam praktik makin banyak gagasan membentuk undang-undang dari Presiden (pemerintah). Dengan kekuasaan melakukan judicial review  terhadap undang-undang dan tindakan pemerintahan, pengadilan tidak lagi sekedar memeriksa dan memutus case and controvercy, tetapi melakukan juga pekerjaan yang bersifat politicking.

Perkembangan  lain  ajaran  Montesquieu,  menyangkut macam-macam cabang kekuasaan itu sendiri. Berbagai negara- termasuk  Indonesia-memiliki  berbagai  cabang  kekuasaan  selain legislatif, eksekutif dan yudikatif. Indonesia (UUD 1945) memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), selain Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif). Di kerajaan Belanda, ada Raad van State, Algemene Reken Kamer (ARK), selain Staten Generaal (legislatif), de Regering (eksekutif), de Rechtspraak (yudikatif). De Koning atau Koningin (Raja atau Ratu) yang di satu pihak dipandang sebagai unsur pemerintah (eksekutif), di pihak lain sebagai kekuasaan tertinggi yang berada di atas cabang-cabang kekuasaan lain, sehingga segala tindakannya di bidang politik atau pemerintahan tidak dapat diganggu gugat (onschenbaar, can do no wrong). Kedudukan serupa, ada pada Raja dan Ratu kerajaan Inggris, dan berbagai kerajaan lain.

Modifikasi lain adalah satu cabang kekuasaan dijalankan oleh dua badan kekuasaan (lembaga negara). Kekuasaan legislatif dengan sistem dua kamar (bicameral) menunjukkan ada dua badan legislatif seperti Senat  dan  DPR  di  Amerika  Serikat,  Majelis  Rendah  dan Majelis Tinggi di Belanda atau Inggris, Senat dan Majelis Nasional di Perancis, Raja Sabha dan Lok Sabha di India, dan lain-lain. Demikian pula  kekuasaan  yudikatif.  Di  Indonesia  ada  Mahkamah  Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di Jerman malahan lebih luas. Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, ada pula Mahkamah Pajak, Mahkamah Tenaga Kerja yang berdiri sendiri.

Bagaimana dengan sebutan “Cabang Kekuasaan Keempat?” Sebutan  ini  bukanlah  sebutan  hukum,  misalnya  dalam  UUD, seperti cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Cabang kekuasaan keempat adalah sebutan textbooks atau akademik. Dengan demikian, sebutan cabang kekuasaan keempat tidak terkait dengan pembagian penyelenggaraan kekuasaan negara yang diatur secara hukum (seperti dimuat dalam UUD). Dalam  tradisi  akademik  (khususnya  ilmu  politik)  ada  dua lembaga (pranata) yang acap kali disebut-sebut sebagai pemegang atau pelaksana kekuasaan keempat yaitu birokrasi dan pers.

Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat - Pers atau media adalah pranata (institusi) di luar organisasi penyelenggara negara. Bahkan dikatakan, pers atau media adalah pranata sosial (institusi publik). Dengan demikian tidak tepat menempatkan pers atau media sejajar dengan kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, atau satuan organisasi penyelenggara negara lainnya. Pers juga tidak sama dengan birokrasi. Birokasi adalah penyelenggara sebagian fungsi negara (birokrasi adalah unsur dalam organisasi penyelenggara negara), sehingga masih lebih mudah dipahami kalau akibat berbagai keadaan dan perkembangan, birokrasi  terpisah  (dipisahkan)  dari  penyelenggara  negara  yang lain, khususnya terpisah dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masih dapat pula dimengerti, kalau ada pendapat yang menyatakan birokrasi sebagai cabang kekuasaan keempat di luar legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Mengingat di satu pihak keterkaitan cabang-cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sebagai satuan organisasi penyelenggara negara, di pihak lain pers atau media berada di luar susunan organisasi negara, dengan demikian sesungguhnya secara struktural  tidak mungkin  menjadikan  atau  menempatkan  pers atau media sebagai cabang kekuasaan keempat. Kalau demikian, apakah  dapat  diketemukan  dasar  lain?  Hal  ini  hanya  mungkin, kalau ditinjau dari fungsi pers atau media dalam penyelenggaraan negara.

Pers atau media bukan sekedar penyalur opini. Ada berbagai fungsi negara lain yang dijalankan pers atau media dalam penyelenggaraan.

  • Pertama, sebagai media komunikasi antara negara (penyelenggara negara) dengan publik. Komunikasi telah lama disadari sebagai kunci penting keberhasilan suara organisasi, termasuk   organisasi   negara.   Penyempurnaan   terus   menerus unsur-unsur pengelolaan atau manajemen negara sangat penting untuk membangun organisasi yang efisien dan efektif. Tetapi pada saat  persoalan  manajemen,  efisiensi dan  efektifitas dipertalikan dengan publik, kunci keberhasilan sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi. Tidak berlebihan, apabila salah satu sumber persoalan penyelenggaraan  negara kita sekarang adalah persoalan penataan dan kelancaran komunikasi antara penyelenggara negara dan publik. Komunikasi diperlukan tidak sekedar menyampaikanberitaataupernyataan sepihak.  Komunikasi dalam demokrasi harus merupakan dialog, pertukaran pikiran secara bebas. Hanya dengan cara itu komunikasi akan membuahkan kebenaran yang lebih baik (kualitas, dapat dipahami), baik dalam makna perbedaan maupun kesamaan. Komunikasi yang sehat mensyaratkan keterbukaan, dan sikap egaliter. Pers atau media menjalankan peran penting, bahkan menjadi kunci kelancaran komunikasi antara penyeleggara negara dan publik.
  • Kedua, sebagai pembentuk opini. Telah dikemukakan, pers atau media  bukan  sekedar penyalur opini.  Tidak kalah penting- bahkan makin penting-fungsi pers atau media sebagai pembentuk opini yang berpengaruh bahkan menentukan perjalanan publik atau perjalanan pengelolaan negara.
  • Ketiga, sebagai sumber gagasan, baik sebagai pencipta atau sebagai penyalur gagasan. Berbagai gagasan yang berasal dari pers atau sebagai penyalur gagasan publik, merupakan faktor penting pendorong dinamika dan perubahan. Pers atau media adalah salah satu sarana penting sebagai agent of change atau agent of reform.
  • Keempat, sebagai cermin tata kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Apakah suatu tatanan politik diterima secara wajar atau karena keterpaksaan sangat mudah diketahui dari performance pers dan media. Apakah tatanan sosial berada dalam dinamika yang mencerminkan suatu tingkat peradaban yang sehat, dapat pula dengan mudah diamati dari muatan (berita atau siaran) pers atau media. Pendek kata, pers atau media merupakan salah satu indikator penting, misalnya mengenai kedewasaan berdemokrasi, dan lain sebagainya.
  • Kelima, sarana kontrol, baik sebagai pengontrol maupun sebagai  penyalur  kontrol  publik.  Kontrol  pers  bersifat  kontrol sosial. Kontrol pers sangat kuat karena didukung oleh kapasitas pembentukan opini disertai daya tekan (pressure) yang kuat pula. Dalam tradisi ilmu politik, pers ditempatkan sebagai struktur tersendiri, tetapi dapat pula disebutkan sebagai unsur pressure group.
  • Keenam, berbagai fungsi penting lain, misalnya pers atau media sebagai pendidik, pengembangan social responsility dan social commitment dan lain-lain.

Namun untuk menjalankan fungsi-fungsi di atas dengan baik dan  berdampak  terhadap  perikehidupan  bernegara  atau  sosial pada umumnya diperlukan suatu syarat yang tidak dapat ditawar yaitu kemerdekaan atau kebebasan pers. Tanpa kemerdekaan atau kebebasan pers, fungsi-fungsi di atas hanyalah suatu kemewahan atau pajangan belaka. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan negara, kemerdekaan atau kebebasan pers hanya akan hidup apabila ada demokrasi.

Demokrasi yang bagaimana? Demokrasi adalah sebuah pranata yang tidak memiliki atau sulit didefinisikan. Kita menyaksikan, baik secara internal maupun eksternal berbagai konsep dan praktek berdemokrasi. Kita menyaksikan, bahkan mengalami, suatu tatanan yang secara nyata bersifat otoriter atau totaliter, tetapi menyatakan diri sebagai suatu bentuk demokrasi. Karena itu, agar tidak misleading, perlu ada ciri-ciri dasar demokrasi yang akan menjamin dan melindungi kemerdekaan atau kebebasan pers.

  1. Pertama, ada rule of law, baik dalam makna hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat), maupun dalam makna demokrasi yang berdasarkan hukum (democracy under the rule of law).
  2. Kedua, ketersediaan alternatif dan kebebasan memilih alternatif. Tanpa alternatif dan kebebasan memilih alternatif, kemerdekaan atau kebebasan adalah sebuah pepesan kosong. Ketersediaan  alternatif  seperti yang  lazim  didapati  pada  sistem plebisit, tidaklah cukup, apalagi tidak ada kebebasan memilih alternatif baik dalam makna memilih atau tidak memilih alternatif. Biasanya, alternatif merupakan unsur demokrasi. Di sini sengaja dipisahkan, untuk lebih menonjolkan kebebasan dan independensi bagai mahkota pers merdeka.
  3. Ketiga, penghormatan kemerdekaan atau kebebasan pers sebagai salah satu hal yang bersifat asasi. Ditinjau dari hak asasi, kemerdekaan atau kebebasan pers terdiri dari dua segi: (1) sebagai instrumen, untuk mewujudkan hak-hak asasi lainnya, seperti hak asasi memperoleh  informasi, hak asasi berkomunikasi, hak atas kebebasan berpendapat. (2) Kemerdekaan atas kebebasan pers sebagai hak asasi itu sendiri. Inilah salah satu segi Amandemen ke-1 UUD Amerika Serikat yang melarang Kongres membuat undang-undang tentang pers.

Larangan yang sama berlaku untuk agama. Pers dipandang sebagai suatu hak alamiah (menurut paham waktu itu), sehingga tidak boleh diatur dengan peraturan perundang-undangan. Memang hingga saat ini tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur pers, tetapi ada berbagai undang-undang yang akan menyentuh juga pers, seperti undang-undang tentang informasi, undang-undang tentang keamanan nasional dan lain-lain.

Pers bebas dengan berbagai fungsi yang disebutkan di atas sangat berpengaruh terhadap pengelolaan negara di bidang politik, pemerintahan  dan  lain-lain.  Pengaruh  ini  makin  menguat.  Acap kali pers menjadi barometer bahkan penentu. Kekuasaan pers merupakan sesuatu yang nyata. Selain makin berpengaruh, pers menjadi kekuatan penyeimbang dan melakukan fungsi kontrol terhadap segala aspek kehidupan publik baik pada suprastruktur maupun infrastruktur (di luar pers).

Atas dasar itulah secara konseptual pers ditempatkan sebagai kekuasaan keempat (the fourth power). Namun berbeda dengan birokrasi sebagai kekuasaan keempat. Pers sebagai kekuasaan keempat tidak menjalankan fungsi pengelolaan negara. Pers berada   di   luar   fungsi-fungsi   penyelenggaraan   negara,   tetapi pers bertanggung jawab atas perikehidupan bernegara seperti memelihara demokrasi, memperjuangkan tujuan bernegara. Inilah salah satu makna independensi pers.

Pers sebagai kekuasaan keempat tidak dilihat dari pembagian pengelolaan kekuasaan negara, tetapi sebagai suatu kekuatan sosial. Dalam demokrasi yang sehat, pengaruh kekuatan sosial sangat menentukan, tetapi juga dapat diselewengkan. Karena itu agar pers tidak sewenang-wenang menggunakan “kekuatannya”, ada tiga hal yang diperlukan.

  1. Pertama, ketaatan pada kode etik pers sebagai kendali profesi (pers adalah sebuah profesi). 
  2. Kedua, kedewasaan ber- demokrasi baik dalam makna politik, sosial, maupun budaya.
  3. Ketiga, ketaatan pada hukum (yang demokratis).

Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat - Kita sangat perlu mengingat dalil Montesquieu, bahwa kekuasaan itu mengandung sifat keserakahan (greedy), karena itu mudah sekali meluncur ke arah yang berlawanan dengan harapan publik. Pers yang kuat harus menjadi bagian dari kekuatan publik, bukan menjadi penikmat kekuasaan belaka. Selama pers memiliki keterpaduan yang sehat dengan publik, selama itu pula pers akan menjadi bintang penunjuk di masa kelam sekalipun. Misi yang tidak mudah, karena membutuhkan keuletan, keteguhan, ketangguhan  dan  senantiasa  bercita-cita  luhur,  terutama  ketika menghadapi berbagai prahara kekuasaan baik di sektor kenegaraan maupun publik itu sendiri.

Artikel ini tentang Pers sebagai Cabang Kekuasaan Keempat.