Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers | Selaihox

Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers

Selaihox. Artikel kali ini adalah tentang Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers di Wilayah Teritorial Indonesia. Mari Simak dengan cermat masalah tentang rospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers.

Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers

A. Prospek Demokrasi di Indonesia

Demokrasi yang membawa kebebasan dan keterbukaan dapat dipandang sebagai anugerah luar biasa reformasi (1998). Anugerah tersebut tidak hanya dinikmati oleh hampir segenap komponen bangsa, juga mendatangkan pujian-pujian yang luar biasa. Negara- negara yang telah memiliki tradisi demokrasi yang panjang (seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda) sangat kagum dengan kecepatan kita menerima dan mempraktekkan demokrasi. para pemuka yang dulu menjadi bagian dari kekuasaan otoriter, sekarang sangat bergiat memperjuangkan demokrasi. Sangat mengagumkan. Berbagai kebebasan dan keterbukaan demokrasi yang kita jalankan sekarang, acap kali menjadi alat pemaaf atas berbagai ketidakpuasan atau kesulitan yang dihadapi.

Demokrasi bukanlah sesuatu yang serba sempurna. Karena itu didapati aneka ragam sebutan demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Pancasila dan lain-lain. Bahkan terjadi, demokrasi justru menjadi pembenaran atau alat suatu kediktatoran seperti demokrasi rakyat, demokrasi proletariat dan lain-lain. Tetapi, dengan segala kenikmatan pujian yang kita terima, kiprah demokrasi yang kita jalankan terkesan masih terbatas. Democracy just for the sake of democracy, yaitu masih terbatas pada makna kebebasan dan keterbukaan. Bahkan secara lebih luas, demokrasi masih sebagai fenomena kekuasaan, masih diartikan sekedar memperoleh kekuasaan, menjalankan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau mempengaruhi kekuasaan. Dengan sebutan lain, demokrasi masih terbatas sebagai sarana politik atau fenomena politik.

Sejalan dengan perkembangan teoritik maupun praktek, semestinya demokrasi  tidak sekadar sebagai sarana politik atau fenomena politik. Demokrasi adalah juga sarana sosial, sarana ekonomi, bahkan sarana budaya. Demokrasi adalah tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk segala bidang pergaulan hidup. Ketahanan demokrasi sangat ditentukan oleh dimensi-dimensi sosial, ekonomi atau budaya. Sekadar demokrasi politik, apalagi sekadar sebagai fenomena kekuasaan, mudah tergelincir menuju negara kekuasaan dengan jargon-jargon demokrasi.

Para Founding Fathers (pendiri bangsa dan negara Indonesia merdeka), menghayati dimensi-dimensi demokrasi yang disebutkan di atas. Bung Karno keluar dengan sebutan “politieke-economische democratie”. Bung Hatta keluar dengan sebutan demokrasi sosial atau  kolektivisme,  yang  memadukan  antara  demokrasi  politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi tidak lagi sekedar kebebasan dan keterbukaan, tetapi demokrasi demi (untuk) kesejahteraan (welfare democracy). Selain itu, berdasarkan hukum kesejarahan, demokrasi merupakan suatu paham dinamik yang berkorelasi dengan nilai-nilai suatu masyarakat dan suatu bangsa. Dalam makna tersebut, para Founding Fathers menetapkan demokrasi atas dasar permusyawaratan atau kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan. Demokrasi Indonesia tidak dibangun atas dasar nilai liberalisme dan individualisme.

Dalam konteks UUD 1945, demokrasi untuk kesejahteraan, merupakan tujuan kemerdekaan dan tujuan bernegara yaitu, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sebesar-besarnya kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Segi lain dari demokrasi yang menekankan pada partisipasi, kebebasan, dan persamaan ternyata tidak memadai. Tidak kurang dari Aristoteles skeptis terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, demokrasi mudah tergelincir menjadi anarki, akibat government by the mob (pemerintahan oleh orang awam atau orang kebanyakan yang tidak kompeten). Aristoteles mengusulkan pemerintahan yang disebut “polite” yaitu pemerintahan oleh kelas menengah.

Dalam kenyataan, pemerintahan modern (demokrasi dan bukan demokrasi) dilahirkan dan dijalankan kelas menengah. Hal ini menunjukkan, kaum menengah juga tidak menjamin suatu demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat, apabila merupakan kesatuan sistem dengan asas negara hukum dan hak asasi manusia. Demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia merupakan satu hubungan segi tiga yang akan lebih menjamin demokrasi untuk kesejahteraan.

Dari catatan di atas, ada tiga unsur yang perlu ada dan hidup untuk menjamin prospek demokrasi di tanah air kita.

  1. Pertama, Demokrasi harus diberi makna yang luas. Demokrasi bukan saja sebagai fenomena politik atau kekuasaan. Demokrasi sebagai tatanan hidup bermasyarakat meliputi juga demokrasi sosial, demokrasi  ekonomi  dan  demokrasi  budaya.  Dengan  perkataan lain, demokrasi sebagai tatanan hidup mencakup segi-segi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
  2. Kedua, menghidupkan dan mengembangkan demokrasi untuk kesejahteraan,  bukan  sekedar  demokrasi  politik atau  demokrasi sebagai fenomena kekuasaan.
  3. Ketiga, menempatkan demokrasi sebagai sistem yang tidak terpisah  dari  paham  atau  asas  negara  hukum,  dan  paham  hak asasi manusia. Paham negara hukum secara asasi berdiri di atas dua pilar utama. Pertama; asas supremasi hukum (supremacy of law). Hukum yang menentukan tingkah laku baik penguasa maupun rakyat. Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above to the law). Semua (penguasa dan bukan penguasa) wajib tunduk pada hukum. Kedua; asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Atas perbuatan  yang  sama, setiap orang (penguasa atau bukan penguasa), tunduk pada hukum dan forum yang sama. Kalaupun ada pengecualian seperti “the King Can do no wrong”, atau ada forum yang berbeda semata-mata ditentukan oleh hukum, bukan kemauan perorangan atau kelompok.

Selain tiga hal di atas, prospek demokrasi di tanah air kita akan ditentukan pula oleh berbagai faktor lain:

1. Demokrasi tidak boleh hanya diartikan sebagai suatu kebebasan atau kemerdekaan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, kebebasan memilih, dan berbagai kebebasan lainnya. 

Demokrasi akan tumbuh dan sehat apabila disertai tanggung jawab  dan  disiplin.  Almarhum  Mohammad  Hatta menyebutkan, demokrasi akan bertahan hidup apabila berbagai kebebasan demokrasi   disertai  tanggung  jawab  dan  toleransi.  Demokrasi yang terlalu menekankan kebebasan menurut bung Hatta akan melahirkan anarki. Lebih jauh, Bung Hatta mengingatkan, dalam suasana anarki (akibat penyalahgunaan demokrasi), maka akan datang kekuatan yang akan mengekang demokrasi. Tanggung jawab dimaksudkan, demokrasi dilaksanakan demi kepentingan umum. Bukan kepentingan kekuasaan oleh suatu golongan mayoritas tertentu, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Disiplin, artinya, demokrasi harus tunduk pada pembatasan- pembatasan seperti kewajiban menjaga harmoni dan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. Demokrasi harus dijalankan dengan menjunjung tinggi hukum dan etik. 

Toleransi mengandung makna, saling menghormati dan menjauhkan diri dari sikap dan tindakan ekstrim. Setiap bentuk ekstremitas adalah musuh yang akan membahayakan dan mematikan demokrasi. Betapa penting tanggung jawab, disiplin, dan toleransi dalam demokrasi. Demokrasi tanpa tanggung jawab, disiplin, dan toleransi, akan kehilangan dimensi sosial mewujudkan saling pengertian, saling menghargai, saling menghormati, sebagai sarana menyelesaikan perbedaan secara damai, sebagai sarana ketenteraman umum, dan keadilan bagi rakyat banyak. Demokrasi semata-mata sebagai fenomena  kekuasaan  dapat  menjadi  alat  menikmati  kekuasaan yang menghalalkan segala cara, saling purba sangka, melakukan manipulasi. Almarhum Bung Karno menyebut demokrasi semacam itu  sekedar  untuk  “menang-menangan”. Menghadapi  hal-hal semacam itu, rakyat akan melakukan pilihan. 

  • Pertama, menjauhkan diri sebagai suatu bentuk protes. Rakyat tidak mau atau sulit diajak berpartisipasi. Bukan hanya karena kekuasaan tidak berpihak pada mereka, tetapi tidak merasa sebagai pemerintahan mereka yang perlu ditopang atau dibantu. Demokrasi tanpa partisipasi bukan demokrasi.
  • Kedua,  rakyat  akan turun tangan mengakhiri segala bentuk penyalahgunaan atau kebobrokan demokrasi. 
2. Peran  dan  fungsi  hukum.Demokrasi yang sehat, menuntut agar hukum dibuat, dijalankan, dan ditegakkan sesuai asas-asas negara hukum dan tujuan sosial hukum yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Persoalan hukum yang sedang kita hadapi, bukan semata- mata  penegakan  hukum  (law  enforcement)  yang  tidak  tepat atau menyimpang. Permasalahan hukum yang kita hadapi berdimensi lebih luas. Karena itu, upaya penegakan hukum; seperti pemberantasan korupsi, yang semata-mata ditangani sebagai persoalan hukum tidak akan pernah memuaskan. Persoalan- persoalan hukum besar yang menyerap perhatian banyak orang dan didiskusikan terus menerus oleh para cerdik pandai, seperti sebutan “the big fish, perkara kakap”, dan lain-lain sebutan bukan sekedar muatan hukum, melainkan mengandung dimensi politik, dimensi pemerintahan (birokrasi), dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi budaya. Secara sederhana, persoalan big fish atau semacam itu, menyangkut keseluruhan sistem yang ada.

Persoalan-persoalan di atas bukan tidak diketahui, bahkan kita sadari. Semua kita mengetahui, sistem pilkada yang dijalankan, sangat koruptif. Bukan saja membeli pemilih, tetapi juga menyangkut hal yang lebih hulu, seperti membeli perahu pendukung, sistem kampanye dan lain-lain. Hanya sedikit hasil pilkada yang diterima oleh yang kalah. Sebagian besar sampai ke pengadilan. Dalam kenyataan, bukan suara rakyat yang menjadi pemutus, melainkan putusan pengadilan. Suatu anomali demokrasi. Semua kita mengetahui, betapa pemilih mudah dibeli. Bukan saja karena kesadaran politik yang rendah, bukan saja  karena suap menyuap menjadi budaya. Lebih dalam, kemiskinan merupakan sebab rakyat menjadikan pilkada sebagai sumber pendapatan. Karena itu, usaha-usaha seperti membatasi ongkos yang dapat dikeluarkan  calon  akan  sia-sia  kalau  berbagai  dimensi  seperti soal-soal ekonomi, soal politik, seperti sistem kepartaian, sistem pemilihan tidak dirombak secara mendasar, komprehensif, dan radikal.

3. Tingkah laku politik dan pemerintahan para pelaku, baik pada supra struktur maupun infrastruktur. Meskipun diterima adagium, demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (from, by, and for the people), tidak pernah menghapuskan kenyataan bahwa yang bergiat dalam praktik dan menjalankan politik dalam pemerintahan hanya sekelompok orang yang saat ini disebut kelompok elit. Sistem rekrutmen yang sangat terbuka, spoil system  yang lebih mengemuka daripada merit system, makin mengemuka. Machtsforming dan machtaanwending (sering diucapkan Bung Karno), praktik dagang sapi (koehandel), sangat berpengaruh pada kemampuan mengeloloa politik dan pemerintahan. Pada ujungnya, hal-hal tersebut sangat berpengaruh pada kompetensi, orientasi, dan dasar-dasar tingkah laku politik dan pemerintah.

4. Tanggung jawab kaum intelektual. Salah satu wujud tanggung jawab kaum intelektual yaitu sebagai penjaga dan penggerak penyelenggaraan UUD 1945 untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sebesar- besarnya kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada saat ini kita tidak kekurangan orang pandai, para sarjana dengan reputasi yang tinggi. Selain kepandaian, kita membutuhkan keterpelajaran yaitu orang-orang yang tidak sekedar penikmat kekuasaan, penikmat kemewahan. Kita membutuhkan kaum terpelajar yang mencintai rakyat yang tidak beruntung, rakyat miskin dan lemah.

B. Kemerdekaan Pers

Selama Orde Lama dan Orde Baru, tekanan terhadap kemerdekaan atau kebebasan pers merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Sistem SIUPP (pemberian dan pencabutan), breidel, pengendalian terhadap isi berita (telepon dari penguasa), penahanan wartawan atau redaksi tanpa diadili, merupakan bukti nyata ketiadaan kemerdekaan pers. Reformasi menjadi momentum memutus rangkaian rantai belenggu kemerdekaan pers, seperti peniadaan SIUPP, peniadaan sistem kendali preventif, dan peniadaan pembereidelan. Pemerintah dilarang mencampuri urusan rumah tangga pers. Acap kali kita mendengar, pers Indonesia yang paling bebas di Asia. Bahkan ada yang menyatakan, pers di Indonesia dikatakan lebih bebas dari pers negara-negara maju.

Tidak ada perdebatan mengenai keharusan kemerdekaan atau kebebasan pers. Kemerdekaan atau kebebasan pers bukan hanya penyalur hak-hak demokrasi, tetapi sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Karena itu, kemerdekaan pers tidak dapat diganti atau disubstitusikan dengan instrumen atau mekanisme lain. Dalam berbagai kesempatan saya pernah menyampaikan, demokrasi tanpa kemerdekaan atau kebebasan pers, adalah kebohongan belaka. Demokrasi semacam itu semu belaka. Selain berkaitan dengan demokrasi, kemerdekaan atau kebebasan pers adalah sebuah hak asasi. Seperti kaitannya dengan demokrasi, kemerdekaan atau kebebasan pers, bukan hanya instrumen mewujudkan hak asasi melainkan sebagai hak asasi itu sendiri.

Telah dicatat, hari-hari ini pers telah, bahkan sangat menikmati kemerdekaan atau kebebasan. Apakah dapat diartikan tidak ada lagi persoalan kemerdekaan atau kebebasan pers? Sama sekali belum.

  1. Pertama, ada yang berusaha mengembangkan pendapat, media atau kemerdekaan pers telah kebablasan atau melampaui batas. Untuk itu diperlukan regulasi, baik langsung atau tidak langsung yang dapat menjadi instrumen kendali. Kendali dapat dalam bentuk ancaman yang lebih berat. Dapat juga dengan menentukan obyek yang dikecualikan dari pemberitaan publik. Kalaupun boleh, harus melalui tata cara tertentu, sehingga tidak lagi bernilai sebagai berita jurnalistik (basi). Sekedar pesan historis bukan lagi berita (news).
  2. Kedua, pers masih menghadapi berbagai hambatan atau ancaman,  baik  langsung  atau  tidak langsung,  seperti hambatan menjalankan  tugas-tugas  jurnalistik, bahkan  kematian wartawan yang sedang menjalankan tugas-tugas jurnalistik.
  3. Ketiga, pers Indonesia menghadapi pula persoalan-persoalan besar lainnya yang bersumber dari pertanyaan “Apakah makna kemerdekaan atau kebebasan pers? Untuk apa kemerdekaan atau kebebasan pers? Bagaimana memelihara dan mempertahankan kemerdekaan atau kebebasan pers?”

Kemerdekaan pers sebagaimana juga kemerdekaan individu, kelompok, atau pranata lainnya, tidak sekedar dimaksudkan kemerdekaan demi kemerdekaan, kebebasan semata demi kebebasan (freedom for the sake of freedom). Ancaman bagi mereka yang hanya melihat demokrasi sebagai bentuk kebebasan. Hal serupa dapat terjadi pada pers. Kemerdekaan pers terjaga, bukan semata-mata karena kita berhasil membuat aturan yang menjamin kemerdekaan pers. Bukan pula karena pers mempunyai hak protes, mempunyai hak melawan upaya mengurangi kemerdekaan pers. Tidak kalah penting, ada kemauan pers untuk menggunakan kemerdekaan pers dengan penuh tanggung jawab dan disiplin.

Kemerdekaan atau kebebasan pers, sebagaimana kemerdekaan atau kebebasan pada umumnya harus tunduk pada pembatasan- pembatasan. Pembatasan merupakan suatu bentuk tanggung jawab dan disiplin. Kemerdekaan atau kebebasan pers yang tidak disertai tanggung jawab akan menjadi atau mendorong anarki.  Tanggung jawab dan disiplin ditunjukkan dengan cara taat kepada hukum, senantiasa menjunjung tinggi etik, independen, seimbang, check dan recheck, dan lain-lain syarat sebagai sebuah profesi. Tetapi  semua  itu  tidak berarti  banyak  kalau  tidak disertai mission yang menjadi dasar atau landasan pers bebas atau pers merdeka.

Untuk   pers   nasional kita, mission pers tidak boleh dibatasi pada menyampaikan berita yang  valid,  akurat, benar, berimbang, dan adil. Kemerdekaan pers dan kegiatan pers, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari misi berbangsa dan bernegara. Selain berjuang untuk menghidupkan dan memelihara demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia, pers sebagai bagian dari perikehidupan dan perjalanan bangsa, ikut memikul tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sebesar- besarnya kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Berdasarkan mission itu, pers yang wajib independen dalam pemberitaan, tidak wajib independen ketika melaksanakan tanggung jawab menegakkan asas-asas dan tujuan berbangsa dan bernegara. Pers harus senantiasa mengingatkan agar mission berbangsa dan bernegara dilaksanakan sebagaimana mestinya. Satu hal yang harus dihindari pers yang merdeka, pers demokratik yang independen tidak menempatkan diri sebagai bagian dari persoalan. Pers wajib berfungsi sebagai penunjuk jalan, penunjuk arah yang tepat atau benar untuk mendekatkan kita semua pada tujuan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi, negara hukum, dan persoalan hak asasi, apalagi yang dilandasi konsep kesejahteraan umum (welfare democracy, social democracy)  bukan  perkara mudah. Secara sosial maupun politik, konsep maupun isi kemerdekaan pers senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika sosial dan politik yang hidup dalam masyarakat, termasuk pengaruh budaya (kultur) dan latar belakang sejarah.

Ketika para Founding Fathers, meletakkan dasar-dasar dan konsep negara Indonesia merdeka, tidak hanya dipengaruhi konsep- konsep intelektual yang sangat mereka kenal. Dasar-dasar dan konsep Indonesia merdeka yang mereka pilih tidak lepas dari kenyataan kultural dan sosiologis serta latar belakang bangsa kita. Sejarah penindasan yang panjang, warisan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, rasa rendah diri, dan berbagai ketidakberdayaan untuk berdiri sama tegak dengan negara lain.

Pada hari ini secara statistikal telah sangat banyak perubahan dan kemajuan. Tetapi secara sosiologis kita masih menyaksikan hal- hal yang menjadi dasar perlawanan terhadap penjajah, dan tujuan berbangsa dan bernegara. Menghadapi hal ini, pers masih dituntut untuk senantiasa meraut pensilnya, untuk meniadakan segala kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Pers tidak boleh berdiam diri. Sebagai penegak amanah yang menjalankan cabang kekuasaan keempat (the fourth power), pers tidak boleh ikut-ikutan, apalagi menjadi bagian dari sistem pengelolaan kekuasaan yang hanya berorientasi pada meraih kekuasaan, menjalankan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam power game yang ada, pers makin dituntut untuk menjalankan checks and balances untuk memelihara tujuan berbangsa dan bernegara. Pers wajib melakukan upaya mencegah segala proses deteriorasi dan demoralisasi kehidupan bangsa dan bernegara di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Hal yang sama, pers harus mencegah demoralisasi kehidupan masyarakat umum karena pilihan berita atau informasi yang akan menimbulkan konflik dan menurunkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekian artikel tentang Prospek Demokrasi pada Era Reformasi dan Kemerdekaan Pers di Indonesia, semoga bermanfaat

Blog :

  1. Crypto Nias 
  2. Selaihox