Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Demagog Politik dan Pencitraan Politik Indonesia

POLITIK PENCITRAAN DAN DEMAGOG POLITIK



POLITIK PENCITRAAN

ANALISA DEMAGOG POLITIK & PENCITRAAN - Munculnya media sebagai bagian dari komunikasi politik merupakan sebuah fenomena menarik dalam komunikasi politik. Penggunaan media dalam proses sosialisasi politik ini membuka ruang-ruang baru dalam komunikasi politik. Salah satu ruang baru tersebut diisi oleh politik pencitraan.

Politik pencitraan dimainkan dengan tujuan terbentuknya opini publik yang diharapkan terhadap penokohan seseorang. Bagaimana momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks.

Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Citra yang sebenranya telah digantikan oleh citra yang telah direkayasa demi kepentingan keterpilihan dalam pesta demokrasi.

Di Indonesia memang belum banyak penelitian tentang peran media social dan media massa secara khusus berkaitan dengan komunikasi politik. Padahal para ahli komunikasi telah banyak memperkirakan bahwa kedepannya komunikasi politik akan menarik untuk diteliti.

Salah satu alasannya karena pada pemilu 2019 mendatang, Indonesia akan banyak memunculkan tokoh-tokoh baru pasca Orde Baru. Jumlah massa mengambang diprediksi akan bertambah. Rakyat semakin cerdas dan sadar akan keterwakilannya.

Akhirnya pemimpin yang otentik dan dekat dengan rakyat akan semakin digandungi. Itu berarti peran politisi perlu meningkatkan kemampuan persuasifnya. Peran media akan semakin kuat dalam mempengaruhi masyarakat.

Pada kenyataannya memang media massa berperanan dalam merepresentasikan realitas dan sekaligus memproduksinya. Media nyata-nyata menjadi bagian dari globalisasi kapitalisme. Inilah yang menjadikan media massa seakan-akan memberikan ruang kepada komunikator-komunikator politik palsu, yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadinya atau lebih dikenal sebagi demagog politik. Kehadiran mereka seakan-akan disahkan oleh banyaknya publikasi di media, baik media massa maupun media social.

Menurut Mahfud MD dalam tulisan di blog-nya: “Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan”.

Fenomena demagog politik itu sendiri sekarang menguat dengan munculnya politisi-politisi dadakan yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang politik, baik dalam pendidikan maupun pengalaman. Kemunculan mereka ditandai dengan maraknya penggunaan media untuk tujuan mengiklankan pribadinya. Terutama kehadiran media below the line di ruang public, seperti di jalan, di papan iklan, di jembatan penyeberangan, di taman kota dan di pohon-pohon penghijau.

ANALISA DEMAGOG POLITIK & PENCITRAAN - Konsep demagog sendiri lahir saat Aristoteles dan Plato menolak sistem pemerintahan demokrasi karena diperkirakan akan melahirkan demagog-demagog politik.

Inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. Tanpa kita sadari kemunculan para demagog politik di media malah mengukuhkan penokohan dirinya. Media massa turut mengkonstruksi hal tersebut. Teknik-teknik pencitraan digunakan dalam mengkonstruksi seseorang.

Citra dan reputasi dikaburkan. Citra sebagai persepsi masyarakat sebagai jati diri seseorang atau organisasi didasari oleh apa yang masyarakat ketahui dan mereka kira tentang orang atau organisasi tersebut. Citra tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan keputusan pilihan.

Jika kita memahami konsep citra maka akan dipahami bahwa citra sengaja diciptakan agar bernilai positif. Istilah lain dari citra adalah favourable opinion, opini public yang menguntungkan. Frank Jefkins mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan pengalamannya.

Jalalludin Rakhmat menyebutkan bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas. Citra dapat diidentifikasi.



Demikian kebutuhan akan citra dan reputasi perseorangan atau organisasi dapat diidentifikasi. Citra dibentuk dari pesan politik. Oleh karenanya pesan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan penerima pesan.

Jika pesan tersebut dapat mewakili kebutuhan penerima pesan maka pesan tersebut akan mudah diterima dan diinternalisasikan. Pada akhirnya angka keterpilihan akan meningkat. Milbrath mensugestikan bahwa partisipasi politik bervariasi berkaitan dengan empat faktor utama:

1. Sejauhmana orang menerima perangsang politik,

2. Karakteristik sosial seseorang,

3. Karakteristik pribadi seseorang,

4. Lingkungan politik dimana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.

ANALISA DEMAGOG POLITIK & PENCITRAAN - Dengan konsep tersebut citra dibuat, sehingga para demagog politik yang “baru naik panggung” nampak sebagai orang yang kompeten, mumpuni, cerdas dan amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Media menyebarkan pesan tersebut seakan-akan itulah realitas yang ada.

Sekian tentang Politik Demagog dan Pencitraan Politik Indonesia. Semoga dapat bermanfaat