Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mira Lesmana Tokoh Sineas Mengembalikan yang Hilang

Tahun 2016 menjadi tahun belah durian bagi dunia perfilman nasional. 10 judul film yang memuncaki tangga box office Indonesia selama 2016 berhasil meraih angka di atas satu juta penonton. Kesadaran masyarakat akan nikmatnya film-film dalam negeri dapat dikatakan ‘sedikit’ semakin nyata, begitu paling tidak.

Etape yang dapat dijadikan bagian dari perjalanan menanjak menuju puncak kejayaan perfilman nasional ini tentu tidak dapat mengubur kenangan runyam bagaimana dunia perfilman nasional benar-benar di bawah garis gradien x=0 pada awal hingga pertengahan dekade 1990an.


Tokoh Indonesia yang paling berpengaruh zaman dulu, sekarang, dan nanti
Foto : Referensi Pihak Ketiga

Jumlah bioskop dan produksi film nasional berkurang drastis. Pun yang tersisa hanya menayangkan film esek-esek yang memang mendominasi tema produksi film nasional saat itu. Bioskop seperti terbakar, orang-orang masuk bioskop hanya untuk menghasilkan keringat menyaksikan adegan- adegan pembakar lemak tubuh.

Ditambah munculnya UU No. 8Tahun 1992 yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi, yang membuat dunia perfilman kehilangan pendataan film-film nasional pada masa tersebut.

Titik cahaya samar-samar muncul menembus kabut pekat yang menyelimuti dunia perfilman nasional. Cahaya itu sebuah lentera, lentera yang dibawa sosok-sosok pemberani yang dengan percaya diri menerabas kekalutan yang meragukan untuk dapat kembali dipulihkan.

Salah satu di antaranya adalah seorang wanita yang berhasil mendirikan sebuah production house Miles Films pada 1995, yang kemudian memproduksi serial dokumenter fenomenal Anak Seribu Pulau di tahun 1996 yang ditayangkan di 5 saluran televisi swasta.

Mira Lesmana, yang lahir di Jakarta pada 8 Agustus 1964, beberapa tahun setelah Jack Lesmana dan Nien Lesmana menikah, mengawali gejolak hidupnya dengan berhasil menulis sebuah lagu saat berusia 16 tahun.

Mira yang saat itu masih seorang gadis belia yang tomboi dan lincah sebenarnya tergiur untuk mengukuhkan jiwa warisan musisi orang tuanya dalam dirinya, sampai ia menyadari bahwa ia tak memiliki bakat bermain musik.

Akhinya Mira berusaha mencari jati dirinya dengan jalan lain, seperti mulai menulis lagu dan puisi sebagai luapan imajinasinya. Cerita dan dongeng dari Mak Sani dan Guru SD-nya adalah alasan dibalik tumbuhnya Mira menjadi gadis yang imajinatif.

Setelah menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP di Perguruan Islam Cikini, Mira dan keluarganya pindah ke Australia untuk menemani Indra yang menerima beasiswa di Brooksfield Music Academy pada 1979.

 Masalah selanjutnya yang menghadang gelegat langkah kakinya adalah kendala bahasa. Mira sangat merasa terganggu dengan hal ini, terutama dalam beradaptasi dengan penggunaan aksen Inggris Australis.

Namun, pikiran imajinatif Mira membantunya mencari sela di antara gang buntu ini. Secara otodidak dan mandiri Mira memperhatikan percakapan Ayahnya bersama para tamunya, kemudian rutin membaca buku-buku cerita berbahasa Inggris, dan terakhir film.

Cara ini yang selanjutnya membuat Mira jatuh cinta kepada film. Selain hobi menonton film menggunakan pita film di rumah bersama kedua orang tuanya, Mira juga kegandrungan nonton di bioskop.

Hampir setiap hari sepulang sekolah ia menyempatkan nonton, hingga tak jarang Ayahnya harus menjemputnya di stasiun apabila terlewat larut. Mulai saat itu juga Mira memproklamirkan gairah menggebu dalam dirinya untuk menjadi seorang pembuat film kepada orang tuanya. Beruntungnya mereka berdua mendukung cita-cita putrinya.

Selepas SMA, sebenarnya Mira akan mendaftar sekolah perfilman di Australia. Namun, keluarganya keburu bergegas pulang ke Tanah Air untuk kembali ke Jakarta. Setelah memakan waktu mengurus transisi legalisasi ijazah di Departemen Pendidikan Nasional, Mira akhirnya diterima di Institut Kesenian Jakarta di Jurusan Penyutradaraan pada 1983.

Begitu lulus Mira langsung bekerja di perusahaan periklanan, Citra Lintas. Mira tumbuh dan berkembang dengan pesat melalui Citra Lintas, dengan menghasilkan iklan-iklan epic seperti Close-Up dan Bir Bintang pada jaman itu.

Pada tahun 1988, Mira harus merelakan kepergian sosok Ayah yang sangat menginspirasinya, Jay Lesmana. Posisi Ayahnya tak lama tergantikan oleh sosok kepala keluarga, Mathias Muchus, aktor kawakan yang menikahinya pada 14 Februari 1990.

Buah kebahagiaan perkawinan mereka membuatnya dikaruniai dua anak laki-laki, Galih Galinggis dan Kafka Keandre. Tahun 1992 Mira memutuskan untuk mengundurkan diri dari Citra Lintas yang sudah menjadi perusahaan papan atas dan langsung ditampung oleh perusahaan Katena, yang memberinya kesempatan untuk bekerja dengan berbagai partner dari negara-negara lain dan menghasilkan berbagai karya, termasuk klip video Indra Lesmana dan Sophia Latjuba sebagai hadiah perkawinan mereka.

Kembali ke kurun waktu saat sisa-sisa mendung masih melanda perfilman nasional, setelah Mira berhasil mendirikan Miles Films pada 1995 dan memproduksi Anak Seribu Pulau, gadis yang mulai akrab ditajuk Mirles ini membangun kongsi dengan para sineas Indonesia untuk memproduksi film layar lebar. Mira bersama Riri Riza, Rizal Manthovani dan Nan T.

Achnas memproduksi film layar lebar “Kuldesak” selama bertahun-tahun dan berhasil dirilis secara resmi pada Oktober 1998. Film ini kemudian disambut berbagai penghargaan dan mulai memberi tiupan kepada bumi perfilman nusantara, memanggil jiwa-jiwa para filmmaker untuk bersama-sama bangkit kembali. Mira bersama kawan-kawannya melalui Kuldesak menerima penghargaan Sutradara Penuh Harapan pada Festival Film Bandung 1999.

Dalam dunia pertelevisian, Mira masih menjaga eksistensi- nya dengan memproduksi sinema elektronik Enam Langkah di saluran RCTI yang mencapai 13 episode. Selain itu, masih banyak judul-judul film televisi dan dokumenter lainnya yang bahkan didanai oleh lembaga asing.

Dunia film layar lebah masih mengundang hasrat Mira untuk kembali memproduksi film layar lebar yang tidak biasa, untuk sekadar mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia akan perfilman nasional. Pada tahun 2000, dengan kepercaya dirian high-level, Miles Films dibawah Mira Lesmana bersama sutradara Riri Riza memproduksi film layar lebar pertamanya yaitu “Petualangan Sherina” (Sherina’s Adventure).

Film Genre musikal anak pertama di Indonesia yang memperkenalkan artis cilik Sherina Munaf ini tentu disambut berbagai komentar dari kritikus dan bahkan meraih kesuksesan secara komersil dengan keberhasilannya mengundang 16 juta penonton Indonesia untuk kembali ke bioskop-bioskop menikmati film nasional.

Berbagai suara sumbang tentu hilir mudik menyekik telinga mengenai ancam- an keberhasilan sementara dan untung-untungan belaka, namun genderang musik kesuksesan terlanjur menggebu di diri Mira.

Pada 2002, dengan menggaet sutradara Rudi Soedjarwo, Mira kembali menghadirkan film panjang bioskop dengan genre percintaan remaja yang segar dan berbeda, “Ada Apa dengan Cinta?” (What’s Up With Love?), yang mengorbitkan nama-nama baru seperti Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra.

Ada Apa dengan Cinta dibanjiri sorak sorai pujian baik di dalam maupun di luar negeri. Selain menjadi film Box Office Indonesia, Ada Apa dengan Cinta? ditayangkan di bioskop- bioskop di Jepang dan Malaysia.

Film ini juga mengantongi penghargaan untuk Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik dan Tata Musik Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) yang kembali digelar pada tahun 2004. Mira begitu sukses menghadirkan film Ada Apa dengan Cinta? dengan fenomenal sehingga begitu lekat dengan momen kebangkitan perfilman Nasional di awal dekade 2000-an.

Masih di tahun 2002, Mira kembali mencukil Riri Riza menjadi sutradara dalam film “Eliana, Eliana” yang menarik para kritikus film dunia dan menghasilkan beragam pujian.

Film ini diganjar penghargaan Young Cinema Award dan Netpac/Fripesci Jury Award dalam Singapore International Film Festival (SGIFF) dan beberapa festival lain seperti Vancouver International Film Festival dan Deauville International Film Festival di Perancis. Dari dalam negeri, film ini mendapatkan penghargaan Skenario Terbaik dan Tata Suara Terbaik dalam FFI 2004.

Pada Juli 2005 Mira bersama Miles Films kembali menggemparkan publik dengan merilis film “Gie” yang mengangkat kisah mahasiswa aktivis gerakan tahun 1960-an, Soe Hok Gie. Lagi-lagi Mira masih dengan daya imajinasi luar biasanya menghadirkan film dengan genre baru yang menyegarkan, dan berhasil membuatnya menjadi trending topic di kalangan masyarakat.

Film yang mengangkat isu politik ini berhasil meraih penghargaan utama Film Terbaik dalam FFI 2005, dan Special Jury Prize dalam SGIFF 2006.

Akhir tahun 2005 Mira kembali menghadirkan film bergenre anak berjudul “Untuk Rena” yang kembali memuncul- kan nama Maudy Ayunda sebagai pemeran utama dan mem- berikan Riri Riza penghargaan Best Director dalam MTV Indonesia Movie Awards 2006.

Selanjutnya, seakan tanpa rasa lelah, tahun 2006 Mira kembali memproduksi film dengan genre remaja berjudul “Garasi” yang mengisahkan lika-liku kehidupan anak band. Film ini menjadi finalis dalam serentetan festival film Internasional yang digelar di berbagai belahan dunia, seperti Tokyo, Singapura, Kalkota (India), Berlin, Madrid dan Korea Selatan.

Sayangnya, di tahun ini juga Mira harus kehilangan kepercayaan pada dunia perfilman nasional. Dalam penyelenggaraan FFI 2006 yang juga menominasikan Garasi dalam beberapa kategori, film “Ekskul” dan sutradaranya Nayato Fio Nuala muncul meraih pernghargaan utama Film Terbaik dan Sutradara Terbaik.

Film yang terbukti melakukan plagiarisme dengan mengambil ilustrasi musik dari beberapa film asing yaitu Gladiator, Munich, dan Taegugki ini kemudian membuat Mira Lesmana ditemani Riri Riza dan sineas Indonesia lainnya seperti Hanung Bramantyo, Nia Dinata, Rudi Soedjarwo dan yang lainnya melakukan gerakan penolakan atas terpilihnya film ini sebagai film terbaik dengan mendirikan Masyarakat Film Indonesia (MF).

Mira yang memimpin gerakan ini dengan gagah menyampaikan penolak- an atas hasil FFI 2006 dan menyatakan sikap tidak mendukung terhadap FFI 2007. Sebanyak 37 Piala Citra dari Festival FilmIndonesia 2004 hingga 2006 dikembalikan oleh para peraihnya sebagai bentuk dukungan terhadap MFI.

Konsekuensi dan kosistensi ditunjukkan Mira dengan keputusan untuk tidak mengirimkan lagi film-film produksinya ke Festival Film Indonesia pada tahun-tahun penyelenggaraan berikutnya. Termasuk saat dirinya kembali memproduksi film bergenre roadmovie “3 Hari Untuk Selamanya” (3 Days to Forever) pada tahun 2007 yang kembali menembus berbagai Internasional Film Festival seperti London, Hongkong, Rotterdam, Barcelona, Melbourne, Pusan, Vancouver, Flanders, Noordelijk, Taipei, Goteborg, dan San Fransisco sepanjang2007 hingga 2009, bahkan meraih penghargaan SutradaraTerbaik dalam 35th Brussels International Film Festival

Di tahun 2009, Mira kian menggila bersama Miles Films dengan meluncurkan film adaptasi mega hits best selling novel “Laskar Pelangi” dengan judul yang sama (The Rainbow Throops). Film tentang perjuangan sepuluh anak di Pulau Belitong ini meraih kesuksesan baik secara kritikal maupun komersil, di mana berhasil menembus puluhan Fesitval Film Internaisonal dan ditayangkan di banyak negara.

Di Indonesia, film ini berhasil menarik 4,8 juta penonton dari berbagai umur dan kalangan dan membuatnya menjadi pemuncak box office Indonesia sepanjang masa dan bertahan selama 8 tahun. Keteguhan hati Mira dengan tidak mengirimkan film garapan- nya ke FFI membuat banyak orang kecewa, karena Laskar Pelangi adalah salah satu film paling fenomenal yang pernah dibuat di Indonesia.

Pada 2014, Mira memutuskan untuk kembali bergabung di FFI dengan mengirimkan film “Sokola Rimba” yang diproduksi tahun 2013 dan masuk ke dalam nominasi kategori utama Film Terbaik dan memenangkan penghargaan Skenario Terbaik serta Pemeran Anak Terbaik. Film yang mengisahkan petualangan seorang wanita untuk mengajar anak-anak Suku Anak Dalam di pedalaman Sumatera ini juga mendapatkan penghargaan FilmTerbaik Piala Maya 2013.

Di tahun 2014 juga Mira kembali menghadirkan film dengan genre berbeda yaitu martial-arts asli Indonesia, silat, dengan judul “Pendekar Tongkat Emas” (The Golden Cane Warrior) yang sangat epic dan menjadi perbincangan.

Kemudian pada 2016, Mira memberikan kejutan luar biasa untuk para penggemar film Ada Apa dengan Cinta? dengan memproduksi sekuel film fenomenal tersebut, “Ada Apa dengan Cinta 2” (What’s With Love 2) yang berhasil menjadi film blockbuster dan menarik 3,5 juta penonton Indonesia lintas generasi untuk kembali ke bioskop.

Film ini begitu gempar dengan menghadirkan lagi para pemain lama serta kembali dihiasi musik-musik dan penampilan khusus dari para seniman lokal.

Masih di tahun yang sama, Mira kembali menghadirkan film biografi “Athirah” (Emma’/Mother) yang mengisahkan perjungan seorang perempuan dalam mempertahankan keluarga. Film ini menjadi finalis di Festival Film Internasional Tokyo, Busan dan Vancouver dan berhasil kembali meraih penghargaan utama Film Terbaik untuk FFI 2016 dan membuat Mira menitikkan air mata saat memberikan pidato kemenangan di podium besama seluruh kru film ini.

Seperti halnya Athirah, Mira telah berusaha dan berjuang mem- pertahankan kepercayaan masyarakat akan keberadaan perfilman nasional dengan menghardikan film yang tidak hanya berorientasi secara komersil, tapi juga kualitas konten yang dihadirkan.

Referensi Wikipedia dan Milesfilms.net