Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menuju Suatu Etika Birokrasi Administrasi Negara

MENUJU SUATU ETIKA BIROKRASI


Menuju Suatu Etika Birokrasi Administrasi Negara

Etika Birokrasi - Administrasi negara sering membuat keputusan berdasarkan kepentingan yang terselubung dan tidak maximal , pada kuliah ini maka kita akan membahas dan menggali kembali rasionalitas pembuatan keputusan secara sadar yaitu dengan rasionalitas filosofis, moral dan etik oleh para pelaksana administrasi.

Atas dasar pemikiran bahwa kesadaran pemilihan etika adalah penting bagi seorang birokrat yang memiliki kekuasaan besar yang boleh dipergunakan semaunya dan keputusan harus bersifat “ kepentingan masyarakat “.

Gagasan bahwa birokrasi memerlukan kepekaan “ etika “ untuk melayani kepentingan masyarakat adalah suatu hal yang baru, sebelum ditinggalkannya dikotomi politik/administrasi yang berarti bahwa pelaksana administrasi secara moral bertanggung jawab, serta moralitas memerlukan pilihan etika.

A. PERKEMBANGAN ETIKA ADMINISTRASI NEGARA


1. Kematian dikotomi politik / administrasi.

Perkembangan yang” pertama” adalah ditinggalkannya dikotomi politik /administrasi dan diakui sebagai bagian yang sama dari bagian dari bidang yang yang sama, maka diakui pula bahwa moralitas harus berhubungan dengan birokrasi.

Sekarang pelaksana administrasi negara harus membuat keputusan tidak hanya berdasarkan prinsip-prinsip menyenangkan seperti efisiensi , ekonomi, dan administrasi , tetapi juga prinsip-prinsip yang tidak menyenangkan yaitu moralitas.


2. Munculnya teori pengambilan keputusan.

Perkembangan “ kedua “ adalah peran baru teori pembuatan keputusan didalam administrasi negara. Pemikiran bahwa pembuat keputusan membuat atas dasar perasaan, Emosi, dan juga “ rasionalitas menunjukkan bahwa administrasi negarakan membuat keputusan yang tidak bermoral yang akan memengaruhi seluruh penduduk; sehingga masalah etika – yaitu masalah kepentingan masyarakat merupakan kebutuhan yang sebenarnya didalam penyelenggaraan administrasi negara.

Pengamatan Ferrel Heady dari pengalaman Perancis dan Jerman, bahwa para birokrat “ patuh bahkan tunduk membela apapun yang telah dicapai oleh pemimpin politik yang berkuasa “, bahkan menurut Tullock diantara para pelaksana administrasi menganggap kurang penting pertimbangan terhadap apa yang baik untuk kepentingan masyarakat atau bagi organisasi .


3. Kritik serangan balas budaya.

Perkembangan “ ketiga” yang telah menyebakan para ahli dan praktisi administrasi negara lebih memikirkan kepentingan masyarakat adalah munculnya “ serangan balas budaya” , istilah tersebut mengacu pada sekumpulan literature yang mengritik keadaan administrasi (Amerika) yang tidak manusiawi, tehnokratis, impersonal dan tidak berwajah.

Kritik serangan balas budaya terhadap birokrasi yang paling mendasar : bahwa pelaksana administrasi negara tergolong amoral karena ia tidak dapat membuat keputusan moral yang layak, meskipun ia juga ingin mengerjakan dengan benar, bahkan pelaksana administrasi tidak lagi memahami apakah ia bermoral atau tidak.

Charles Reich membuat karakteristik sebagai kritik terhadap keadaan administrasi sebagai berikut :
Berkurangnya kebebasan pribadi karena gabungan dan integrasi antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum masyarakat;
Birokrasi yang netral nilai , bahkan tanpa nilai;
Birokrasi yang terus menerus bias menyetujui kebijakan yang ada;
Otonomi birokrasi administrasi yang membuat keputusan tertentu yang tidak terarah terhadap penggunaan sumber tertentu;
Penggantian pemilikan pribadi tradisonal, seperti pemilikan tanah, dengan pemilikan yang baru oleh orang yang memiliki organisasi;
Hukum sebagai “ medium yang tidak manusiawi “ yang menghubungkan kelas dan kategori didalam masyarakat , bukan menghubungkan orang sebagai individu.


B. ADMINISTRASI NEGARA DAN PENGAKUAN ATAS KEPENTINGAN UMUM

Kritik serangan balas budaya ( counterculture critique ) terhadap dilema moral pelakasana administrasi negara merupakan kritik yang tajam. meskipun para ahli administrasi negara telah meningkatkan perhatian terhadap etika-etika administrasi dan pembuatan keputusan,namun belum membuat para pelaksana administrasi negara perlu menjalankan tugas menentukan suatu kerangka kerja pilihan moral .


1. “ Tanggung jawab “ birokrat.

Didalam kenyataannya , para ahli administrasi negara telah menjauhi tugas tersebut diatas dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa suatu kerangka kerja moral sebenarnya tidak perlu, karena tanggung jawab dan amanat dijamin dalam birokrasi.

Carll Friedrich dan Norton Long berpendapat bahwa keberatan normal dan komitmen profesional para pelaksana administrasi negara tersosialisasi secara berangsur-angsur dari pelayanan masyarakat , bersama dengan “ Keterwakilan elite “ birokrasi yang berperan sebagai kendala internal terhadap penetrasi kebijakan anti demokrasi.

Kendala eksternal yang menjamin dipenuhinya kepentingan masyarakat, Charles Hyneman dan Herbert Finer yakin bahwa pengawasan legislatif merupakan kendala yang cukup agar pelaksana administrasi tidak berperilaku semaunya dalam mengambil keputusan. J.D. Lewis dan L.Von Misch berpendapat bahwa partisipasi penduduk di dalam pembuatan keputusan birokrasi dapat dimanfaatkan agar kebijakan birokrasi memperhatikan kepentingan masyarakat.


2. “ Humanisme Radikal “

Menurut Eugene P. Dvorin dan R.H. Simmon bahwa sedikit literature administrasi negara yang memberi gambaran tentang hakekat kepentingan umum, dan tidak ada satupun yang memberi gambaran keyakinan pada martabat manusia sebagai nilai pokok.

Mereka berpendapat bahwa : humanisme radikal merupakan konsep fungsional birokrasi dari kepentingan masyarakat. Humanisme radikal adalah radikal karena ia tidak ingin menyetujui nilai-nilai kemanusiaan karena alasan tertentu.

Humanisme radikal menghendaki agar perhitungan akhir mekanisme operasional dan strategi politik dari suatu konsep kepentingan masyarakat didasarkan pada manusia sebagai perhatian utama kekuasaan birokrasi.

Sekian Tentang: Menuju Suatu Etika Birokrasi Administrasi Negara, semoga dapat bermanfaat.