Tjokroaminoto Tokoh Pelopor Pendidikan Kebangsaan Indonesia
Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, begitulah nama lengkapnya, lahir di desa Bakur pada tanggal 16 Agustus 1882, beliau termasuk salah satu tokoh yang sangat berperan dalam memperjuangkan bangsa dan agama dari penindasan kolonial Belanda, sehingga diberi anugerah atau penghargaan oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional.
Di dalam tubuh Tjokroaminoto mengalir darah kyai dan priyayi, bangsawan budi dan bangsawan darah sekaligus. Karenanya, dalam perkembangan jalan hidupnya di kemudian hari kedua unsur tadi sangat memengaruhinya. Oleh Soekarno beliau diakui sebagai gurunya, sedangkan oleh penjajah Belanda disebut sebagai: De Ongekronnde Koning Von Java (raja Jawa yang tak dinobatkan).
Desa Bakur tempat beliau dilahirkan adalah sebuah desa yang sepi, terkenal sebagai daerah santri dan taat menjalankan ajaran agama Islam. Desa ini terletak di Kecamatan Sawahan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Adapun keluarganya adalah keluarga yang terhormat dan dikagumi dikalangan masyarakat, ayah dari Tjokroaminoto adalah seorang pejabat pemerintah yang berkedudukan sebagai wedono di kawasan Kletjo, Ngawi.
Seorang Indo-Belanda melukiskan bahwa Tjokroaminoto perawakannya mengagumkan suka kerja keras dan tidak mengenal lelah, mempunyai suara indah dan hebat, mudah didengar oleh beribu-ribu orang, hampir setiap orang terpaku bila mendengar pidatonya yang lancar dan penuh keyakinan. Beliau juga seorang pemimpin yang terkenal,
namun juga teguh beribadah dan tak kuasa rasanya melukiskan tentang kepribadiannya, bahkan sampai cara berpakaian pun menunjukkan ciri nasionalnnya, sementara banyak teman- temannya menggunakan ciri Barat, tetapi beliau masih menggunakan pakaian Jawa asli. Dan pakaian inilah yang selalu dipakai kapan dan di mana saja tanpa rendah diri.
Di samping sebagai tokoh politik, H.O.S Tjokroaminoto juga memiliki keahlian: Seorang seniman dan puitikus. Tjokroaminoto juga seorang pemimpin, organisator serta orator yang ulung bagi pergerakan bangsanya terutama dalam pergerakan Sarikat Islam.
Kondisi sosial di masa Tjorkoaminoto dibesarkan adalah masyarakat yang penuh dengan penerapan-penerapan norma agama Islam. Paling tidak sejak kecil beliau telah terbiasa dengan tata cara semacam itu.
Dalam bidang pendidikan, oleh ayahnya, beliau dimasukkan dalam lembaga formal yang saat itu masih berada di bawah naungan kolonialis. Ayahnya mempunyai sifat yang tegas dalam mendidik, hal itu menurun pada Tjokroaminoto yang memiliki sifat tegas,
tercermin dari ketegasannya ketika menentang pemerintahan kolonial Belanda. Beliau memandang semua manusia sama tingkatnya, tidak ada yang lebih tinggi kecuali Allah Swt.
H.O.S Tjokroaminoto adalah seorang anak yang nakal dan pemberani, karena kenakalan dan keberaniannya inilah maka semasa di bangku sekolah beliau sering dikeluarkan dari sekolah satu ke sekolah lain.
Walaupun demikian, karena kecerdasan otaknya, setelah menamatkan pendidikan dasarnya beliau masuk ke OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren atau Sekolah Calon Pegawai Pemerintah) di Magelang dan pada tahun 1902 beliau berhasil menyelesaikan studinya disana.
Setelah lulus dari pendidikannya, beliau bekerja sebagai pejabat pangreh praja atau juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi, meskipun di tahun 1905 pada akhirnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk penolakannya terhadap budaya feodal sembah meyembah dan politik elitis yang terjadi di dalamnya.
Tjokroaminoto kemudian menjadi kuli pelabuhan yang kelak membuatnya bertemu banyak pekerja kelas bawah dan menyadarkan kesadaran politik proletarnya sampai akhirnya membentuk “Sarekat Pekerja” dengan tujuan untuk mengakat harkat para kelas pekerja.
Di antara banyak pekerjaan yang dilakoninya, pekerjaan sebagai jurnalistik adalah yang paling disukai oleh Tjokroaminoto. Beliau mengembangkan bakatnya dalam bidang itu dengan memasukkan tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada masa itu, serta pernah bekerja pada sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya.
Bakatnya ini semakin tampak jelas semasa beliau menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) di mana beliau mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, contohnya surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.
Di samping bekerja, beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuannya. Beliau melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School). Sekalipun Tjokroaminoto bukanlah tamatan perguruan tinggi yang ada saat itu, secara formal kemampuannya menghadapi permasalahan sosial dan politik sangat diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Pemerintah Belanda sadar dan tahu betapa besar pengaruh
Tjokroaminoto, pada rakyat Jawa terutama, maka sewaktu didirikan Volksraad Tjorkoaminoto diangkat menjadi anggotanya sebagai wakil dari Sarekat Islam, bersama Abdul Moeis.
Dari tulisannya tersebut kemudian dibicarakan secara akademis di dalam rumah kediamannya bersama para pelajar yang indekos.
Adapun yang mengikuti dan sekaligus sebagai muridnya adalah: Bung Karno, Kartosuwiryo, Alimin, Musso, Abikusno, Kartowisastro, Sampurno, dan lain-lain.
Dari percakapan mereka tidak semata-mata murni akademis tetapi juga bersifat idealis, sebab percakapan itu diadakan untuk menjawab secara konsepsional tantangan sejarah pada saat itu, baik dalam bentuk kemasyarakatan maupun konsep kenegaraan.
Dan dari forum ini lahirlah tokoh-tokoh yang berlainan ideologi, misalnya Soekarno dengan ideologi Nasionalis, Semaoen dengan ideologi Kolonialnya, Kartosoewijo dengan ideologi Islam Fundamentalisnya dan Tjokroaminoto sendiri dengan ideologi Islam.
Pemikiran H.O.S. Cokroaminoto mengandung nilai-nilai kebangsaan yang muaranya digunakan untuk melawan penindasan Kolonial Belanda bersama para tokoh perjuangan yang lain. Nilai-nilai kebangsaan ditekankan melalui jalur pendidikan.
Gagasannya mengenai pendidikan kebangsaan yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist bertujuan untuk menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang sejati dan sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar penuh kepercayaan kepada diri sendiri,
Dengan menggunakan prinsip cinta tanah air yaitu sekuat tenaga mengadakan pendidikan untuk menanamkan perasaan kebangsaan; memiliki keberanian yaitu selalu menanamkan rasa keberanian terutama jihad (bekerja keras mempropagandakan dan melindungi Islam) karena hal itu termasuk bagian dari iman dan menanamkan sifat kemandirian.
Menurut H.O.S. Cokroaminoto ilmu harus diperoleh dengan akal, tetapi tidak boleh dipisahkan dari pendidikan budi pekerti dan pendidikan. Ia mengakui bahwa Islam yang bersumber al-Quran dan al-Hadits itulah yang memajukan berbagai ilmu.
Oleh karena itu pendidikan harus berdasar dan tidak menyimpang dari sumber Islam tersebut. H.O.S. Cokroaminoto lebih jauh merumuskan sistem pendidikan yang Islami dengan menganjurkan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum,
dan pendidikan harus dapat mempertebal perasaan kebangsaan, bukan sebaliknya mengagung-agungkan budaya asing dan tercerabut dari akar budaya sendiri.
Berkaitan dengan masalah tersebut harus ada lembaga Islam yang mengelola pendidikan kebangsaan baik secara informal maupun nonformal. Pendidikan tersebut harus bertujuan mengangkat derajat dan martabat kemanusiaan dari setiap individu manusia.
Pada usia 35 tahun, H.O.S Tjokroaminoto mencapai puncak kariernya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa periode. Tetapi semua gerak langkahnya tidak akan berhasil, jika tidak mendapat dukungan dari istri tercintanya.
Dengan ketaatan seorang istri pejuang yang juga ikut membanting tulang mencari nafkah dengan tiada rasa jerih payah. Hidup sang istri yang didorong oleh hati ikhlas dan jujur itu, akhirnya merupakan faktor yang terpenting pula, sehingga Tjokroaminoto menjadi tokoh besar di Indonesia yang amat disegani oleh kawan maupun lawannya.
Tetapi tidaklah lama Raden Ayu Soeharsikin dapat menyumbangkan darma baktinya kepada cita-cita suaminya, pada tahun 1921, beliau berpulang ke Rahmatullah meninggalkan suami dan kelima anaknya. Almarhumah Soeharsikin kemudian dimakamkan di Botoputih, Surabaya.
Beliau tidak hanya kehilangan sosok seorang istri, tetapi juga kehilangan rekan seperjuangannya yang paling mengerti dirinya. Ketika semua orang berpaling darinya, Soeharsikinlah satu-satunya orang yang masih setia.
Tjokroaminoto berpulang kepada Sang Maha pencipta pada tahun 1934 di Yogyakarta, tepatnya pada tanggal 17
Desember 1934 pada usia 52 tahun, beliau dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Beliau tak sempat menghirup udara kemerdekaan yang diperjuangkan oleh murid-muridnya, termasuk Soekarno sang Proklamator.
Yang terpenting semangatnya sebagai “Guru Bangsa” tetap dirasakan hingga kini. Beliau dapat dianggap sebagai ilmuwan otodidak yang banyak memengaruhi pemikiran para tokoh kemerdekaan. Atas jasa-jasa dan kontribusinya terhadap Indonesia, beliau dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional pada tahun 1961.
REFERENSI :
eprints.walisongo.ac.id/60/1/Anas_Tesis_Sinopsis.pdf
digilib.uinsby.ac.id/1777/6/Bab%203.pdf
Di dalam tubuh Tjokroaminoto mengalir darah kyai dan priyayi, bangsawan budi dan bangsawan darah sekaligus. Karenanya, dalam perkembangan jalan hidupnya di kemudian hari kedua unsur tadi sangat memengaruhinya. Oleh Soekarno beliau diakui sebagai gurunya, sedangkan oleh penjajah Belanda disebut sebagai: De Ongekronnde Koning Von Java (raja Jawa yang tak dinobatkan).
![]() |
Foto : Refesensi Pihak Ketiga |
Desa Bakur tempat beliau dilahirkan adalah sebuah desa yang sepi, terkenal sebagai daerah santri dan taat menjalankan ajaran agama Islam. Desa ini terletak di Kecamatan Sawahan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Adapun keluarganya adalah keluarga yang terhormat dan dikagumi dikalangan masyarakat, ayah dari Tjokroaminoto adalah seorang pejabat pemerintah yang berkedudukan sebagai wedono di kawasan Kletjo, Ngawi.
Seorang Indo-Belanda melukiskan bahwa Tjokroaminoto perawakannya mengagumkan suka kerja keras dan tidak mengenal lelah, mempunyai suara indah dan hebat, mudah didengar oleh beribu-ribu orang, hampir setiap orang terpaku bila mendengar pidatonya yang lancar dan penuh keyakinan. Beliau juga seorang pemimpin yang terkenal,
namun juga teguh beribadah dan tak kuasa rasanya melukiskan tentang kepribadiannya, bahkan sampai cara berpakaian pun menunjukkan ciri nasionalnnya, sementara banyak teman- temannya menggunakan ciri Barat, tetapi beliau masih menggunakan pakaian Jawa asli. Dan pakaian inilah yang selalu dipakai kapan dan di mana saja tanpa rendah diri.
Di samping sebagai tokoh politik, H.O.S Tjokroaminoto juga memiliki keahlian: Seorang seniman dan puitikus. Tjokroaminoto juga seorang pemimpin, organisator serta orator yang ulung bagi pergerakan bangsanya terutama dalam pergerakan Sarikat Islam.
Kondisi sosial di masa Tjorkoaminoto dibesarkan adalah masyarakat yang penuh dengan penerapan-penerapan norma agama Islam. Paling tidak sejak kecil beliau telah terbiasa dengan tata cara semacam itu.
Dalam bidang pendidikan, oleh ayahnya, beliau dimasukkan dalam lembaga formal yang saat itu masih berada di bawah naungan kolonialis. Ayahnya mempunyai sifat yang tegas dalam mendidik, hal itu menurun pada Tjokroaminoto yang memiliki sifat tegas,
tercermin dari ketegasannya ketika menentang pemerintahan kolonial Belanda. Beliau memandang semua manusia sama tingkatnya, tidak ada yang lebih tinggi kecuali Allah Swt.
H.O.S Tjokroaminoto adalah seorang anak yang nakal dan pemberani, karena kenakalan dan keberaniannya inilah maka semasa di bangku sekolah beliau sering dikeluarkan dari sekolah satu ke sekolah lain.
Walaupun demikian, karena kecerdasan otaknya, setelah menamatkan pendidikan dasarnya beliau masuk ke OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren atau Sekolah Calon Pegawai Pemerintah) di Magelang dan pada tahun 1902 beliau berhasil menyelesaikan studinya disana.
Setelah lulus dari pendidikannya, beliau bekerja sebagai pejabat pangreh praja atau juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi, meskipun di tahun 1905 pada akhirnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk penolakannya terhadap budaya feodal sembah meyembah dan politik elitis yang terjadi di dalamnya.
Tjokroaminoto kemudian menjadi kuli pelabuhan yang kelak membuatnya bertemu banyak pekerja kelas bawah dan menyadarkan kesadaran politik proletarnya sampai akhirnya membentuk “Sarekat Pekerja” dengan tujuan untuk mengakat harkat para kelas pekerja.
Di antara banyak pekerjaan yang dilakoninya, pekerjaan sebagai jurnalistik adalah yang paling disukai oleh Tjokroaminoto. Beliau mengembangkan bakatnya dalam bidang itu dengan memasukkan tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada masa itu, serta pernah bekerja pada sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya.
Bakatnya ini semakin tampak jelas semasa beliau menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) di mana beliau mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, contohnya surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.
Di samping bekerja, beliau juga tidak lupa meluangkan waktu untuk menambah ilmu pengetahuannya. Beliau melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School). Sekalipun Tjokroaminoto bukanlah tamatan perguruan tinggi yang ada saat itu, secara formal kemampuannya menghadapi permasalahan sosial dan politik sangat diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Pemerintah Belanda sadar dan tahu betapa besar pengaruh
Tjokroaminoto, pada rakyat Jawa terutama, maka sewaktu didirikan Volksraad Tjorkoaminoto diangkat menjadi anggotanya sebagai wakil dari Sarekat Islam, bersama Abdul Moeis.
Dari tulisannya tersebut kemudian dibicarakan secara akademis di dalam rumah kediamannya bersama para pelajar yang indekos.
Adapun yang mengikuti dan sekaligus sebagai muridnya adalah: Bung Karno, Kartosuwiryo, Alimin, Musso, Abikusno, Kartowisastro, Sampurno, dan lain-lain.
Dari percakapan mereka tidak semata-mata murni akademis tetapi juga bersifat idealis, sebab percakapan itu diadakan untuk menjawab secara konsepsional tantangan sejarah pada saat itu, baik dalam bentuk kemasyarakatan maupun konsep kenegaraan.
Dan dari forum ini lahirlah tokoh-tokoh yang berlainan ideologi, misalnya Soekarno dengan ideologi Nasionalis, Semaoen dengan ideologi Kolonialnya, Kartosoewijo dengan ideologi Islam Fundamentalisnya dan Tjokroaminoto sendiri dengan ideologi Islam.
Pemikiran H.O.S. Cokroaminoto mengandung nilai-nilai kebangsaan yang muaranya digunakan untuk melawan penindasan Kolonial Belanda bersama para tokoh perjuangan yang lain. Nilai-nilai kebangsaan ditekankan melalui jalur pendidikan.
Gagasannya mengenai pendidikan kebangsaan yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist bertujuan untuk menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang sejati dan sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar penuh kepercayaan kepada diri sendiri,
Dengan menggunakan prinsip cinta tanah air yaitu sekuat tenaga mengadakan pendidikan untuk menanamkan perasaan kebangsaan; memiliki keberanian yaitu selalu menanamkan rasa keberanian terutama jihad (bekerja keras mempropagandakan dan melindungi Islam) karena hal itu termasuk bagian dari iman dan menanamkan sifat kemandirian.
Menurut H.O.S. Cokroaminoto ilmu harus diperoleh dengan akal, tetapi tidak boleh dipisahkan dari pendidikan budi pekerti dan pendidikan. Ia mengakui bahwa Islam yang bersumber al-Quran dan al-Hadits itulah yang memajukan berbagai ilmu.
Oleh karena itu pendidikan harus berdasar dan tidak menyimpang dari sumber Islam tersebut. H.O.S. Cokroaminoto lebih jauh merumuskan sistem pendidikan yang Islami dengan menganjurkan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum,
dan pendidikan harus dapat mempertebal perasaan kebangsaan, bukan sebaliknya mengagung-agungkan budaya asing dan tercerabut dari akar budaya sendiri.
Berkaitan dengan masalah tersebut harus ada lembaga Islam yang mengelola pendidikan kebangsaan baik secara informal maupun nonformal. Pendidikan tersebut harus bertujuan mengangkat derajat dan martabat kemanusiaan dari setiap individu manusia.
Pada usia 35 tahun, H.O.S Tjokroaminoto mencapai puncak kariernya sebagai pemimpin Sarekat Islam selama beberapa periode. Tetapi semua gerak langkahnya tidak akan berhasil, jika tidak mendapat dukungan dari istri tercintanya.
Dengan ketaatan seorang istri pejuang yang juga ikut membanting tulang mencari nafkah dengan tiada rasa jerih payah. Hidup sang istri yang didorong oleh hati ikhlas dan jujur itu, akhirnya merupakan faktor yang terpenting pula, sehingga Tjokroaminoto menjadi tokoh besar di Indonesia yang amat disegani oleh kawan maupun lawannya.
Tetapi tidaklah lama Raden Ayu Soeharsikin dapat menyumbangkan darma baktinya kepada cita-cita suaminya, pada tahun 1921, beliau berpulang ke Rahmatullah meninggalkan suami dan kelima anaknya. Almarhumah Soeharsikin kemudian dimakamkan di Botoputih, Surabaya.
Beliau tidak hanya kehilangan sosok seorang istri, tetapi juga kehilangan rekan seperjuangannya yang paling mengerti dirinya. Ketika semua orang berpaling darinya, Soeharsikinlah satu-satunya orang yang masih setia.
Tjokroaminoto berpulang kepada Sang Maha pencipta pada tahun 1934 di Yogyakarta, tepatnya pada tanggal 17
Desember 1934 pada usia 52 tahun, beliau dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Beliau tak sempat menghirup udara kemerdekaan yang diperjuangkan oleh murid-muridnya, termasuk Soekarno sang Proklamator.
Yang terpenting semangatnya sebagai “Guru Bangsa” tetap dirasakan hingga kini. Beliau dapat dianggap sebagai ilmuwan otodidak yang banyak memengaruhi pemikiran para tokoh kemerdekaan. Atas jasa-jasa dan kontribusinya terhadap Indonesia, beliau dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional pada tahun 1961.
REFERENSI :
eprints.walisongo.ac.id/60/1/Anas_Tesis_Sinopsis.pdf
digilib.uinsby.ac.id/1777/6/Bab%203.pdf